TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Di sebuah rumah sederhana di Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, Jatim, tumbuh tiga anak yang masing-masing menyandang nama besar dalam sejarah organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama atau NU.
Mereka adalah Muhammad Tholhah Mansur, Abdullah Ubaid, dan Huzaimah Mansur. Nama itu bukan nama sembarangan, melainkan nama para pendiri badan otonom atau Banom NU, ormas keagamaan berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.
Ketiganya adalah buah hati dari pasangan Masrur Ghazali dan Nurhakimah Ismawati, dua aktivis NU yang menyalurkan kecintaan mereka pada para ulama melalui nama anak-anaknya.
Masrur adalah pengurus Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Kabupaten Probolinggo, sementara Nurhakimah aktif di Pimpinan Cabang Fatayat NU, organisasi perempuan muda NU.
“Kami tidak hanya ingin anak kami memiliki nama yang indah, tapi juga penuh makna dan jejak sejarah,” kata Masrur saat ditemui di sela-sela kegiatan organisasi.
Menjadi Nama, Menjadi Doa
Bagi keluarga ini, nama bukan sekadar identitas, melainkan doa panjang dan harapan besar. Mereka ingin anak-anak mereka tumbuh dengan meneladani keteladanan para tokoh NU yang menjadi inspirasi bangsa.
Muhammad Tholhah Mansur, misalnya, terinspirasi dari tokoh pendiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama atau IPNU, organisasi pelajar dan santri NU yang beranggotakan laki-laki usia maksimal 27 tahun.
Sementara Abdullah Ubaid adalah nama pendiri GP Ansor, Banom NU yang mewadahi pemuda NU hingga usia 40 tahun.
Adapun nama Huzaimah Mansur, terinspirasi dari nama tokoh pendiri Fatayat NU, organisasi untuk perempuan muda NU.
“Dengan memberi nama anak-anak kami seperti ini, harapannya mereka tumbuh dengan semangat pengabdian, keberanian, dan keikhlasan seperti para muassis (pendiri) organisasi-organisasi tersebut,” ujar Nurhakimah.
Tradisi dan Harapan
Sebagai organisasi keagamaan, NU memiliki perangkat struktural berupa badan otonom yang berfungsi melaksanakan program sesuai dengan basis keanggotaannya. Mulai pelajar, pemuda, hingga perempuan.
Banom inilah yang menjadi penggerak NU di akar rumput, tempat nilai-nilai keislaman dan kebangsaan ditanamkan sejak dini.
Pilihan Masrur dan Nurhakimah memberi nama anak-anak mereka dari nama tokoh Banom NU menjadi semacam bentuk dakwah sunyi. Bukan melalui ceramah, tapi melalui warisan nilai yang mengakar dalam keluarga.
“Dengan memberi nama anak dengan nama pendiri Banom NU, tentunya harapan kami sebagai orang tua anak ini bisa meneladani semua yang telah dilakukan oleh muassis dan dapat berguna bagi bangsa, negara, dan agama,” ujar Masrur. (*)
Pewarta | : Muhammad Iqbal |
Editor | : Muhammad Iqbal |