TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Pagi itu, asap tipis mengapul dari kawah aktif Gunung Bromo. Hari itu, Rabu 11 Juni 2025, ritual larung sesaji baru saja dilakukan warga Suku Tengger di puncak gunung api setinggi 2.329 meter di atas permukaan laut tersebut.
Pagi buta itu, ribuan warga Tengger dari Probolinggo, Lumajang, Malang dan Pasuruan, silih berganti melempar ongkek ke arah kawah. Sebuah sesaji khusus yang dibuat oleh setiap desa Suku Tengger, yang mendiami lereng Gunung Bromo.
Mereka juga melempar enaka sesaji dari hasil bumi, hewan ternak hingga uang tunai. Pagi itu, tanggal 14 Bulan Kasada dalam penanggalan tradisional Suku Tengger, sedang berlangsung upacara Yadnya Kasada.
Di tengah upacara sakral di puncak gunung aktif tersebut, puluhan orang mengais rezeki. Mereka mengambil ongkek, serta benda atau barang berharga lain yang dilempar ke kawah Gunung Bromo. Orang Tengger menyebut mereka sebagai marit.
Benda-benda sebagai sesaji itu mereka tangkap. Kadang dengan tangan kosong, kadang dengan bantuan alat dari jaring. Upaya itu kadang mudah dilakukan, kadang juga harus berebut satu sama lain.
Seorang marit menggendong dua ekor kambing yang ia peroleh dalam upacara larung sesaji Yadnya Kasada 2024 (Foto: Rizki Putra Dinasti/dok. TIMES Indonesia)
Mereka adu cepat dan adu gesit di medan dengan kemiringan ekstrem. Di dasar sana, ada kawah aktif Gunung Bromo yang terus-terusan mengeluarkan asap dengan aroma belirang. Sementara di atas mereka, ribuan orang silih berganti melempar hasil bumi.
Mereka menjelajah bibir kawah yang miring dengan tongkat, bersahabat dengan asap belirang yang keluar dari dasar kawah. Lengah sedikit, nyawa mereka bisa melayang, jatuh ke dasar kawah.
Untuk mempermudah pekerjaan, para mereka membentuk kelompok-kelompok kecil. Hasil tangkapan mereka nantinya dikumpulkan dan dijual, kemudian uangnya dibagi rata dalam satu kelompok.
Mereka berada di area kawah Gunung Bromo sejak dua hari sebelum ritual larung sesaji berlangsung. Mereka rela tidur tanpa alas selama dua hari melawan dinginnya hawa Gunung Bromo demi mendapatkan kurban suci tersebut.
Tak ada yang melarang marit menjalani “profesi” ekstrim di puncak Gunung Bromo. Gunung eksotis yang dikunjungi ratusan ribu wisatawan setiap tahunnya. Baik wisatawan lokal maupun manca negara.
Terkait tradisi Marit ini, Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta dalam Buku Inventarisasi dan Komunitas Adat Tengger Ngadisari Sukapura Probolinggo Jawa Timur terbitan tahun 2012 menulis:
“Kebutuhan ngalap berkah dengan mengambil kembali sesaji diperbolehkan oleh para dukun pandhita selama warga berani melakukannya karena medan yang sulit.”
Dari Kasada Hingga Tahun Baru
Tradisi marit tak hanya ada ketika upacara Yadnya Kasada. Pada momen tertentu, tradisi ini juga terlihat di puncak gunung yang menjadi magnet periwisata tersebut. Pada momen tahun baru misalnya.
Semakin banyak pengunjung yang naik ke puncak kawah, semakin banyak pula rezeki yang diperoleh Marit. Karena itu pula, mereka bertahan dengan “profesi” ekstrim tersebut hingga puluhan tahun.
Sulari, misalnya. Pria asal Desa/Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo itu menjadi marit selama 37 tahun. Saat diwawancarai pada tahun baru 2014, pria 63 tahun itu mengaku bisa memperoleh Rp 1 juta pada momen Yadnya Kasada.
Pendapatan itu ia peroleh karena pada momen tersebut, warga Tengger dari Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang, berbondong-bondong ke puncak kawah Gunung Bromo untuk larung sesaji.
Sulari mengaku, tak lagi ngeri atau takut berjalan di kawah Bromo. Meski tak menutup kemungkinan dirinya bisa terjatuh ke dasar kawah bila lengah. Sejauh ini, tak ada catatan yang menyebut terjadinya kecelakaan yang menimpa marit.
Tokoh masyarakat Tengger, Supoyo, mengatakan, aktivitas yang dilakukan Sulari itu telah ada sejak lama dan sudah mentradisi. "Sejak saya kecil, itu memang sudah ada," kata mantan kades Ngadisari, Kecamatan Sukapura dan anggota DPRD kabupaten setempat itu.
Sejumlah marit berdiri di dinding kawah Gunung Bromo yang tengah erupsi dalam upacara Yadnya Kasada 2016 (Foto: Senda Hardika/dok.TIMES Indonesia)
Mantan Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Ayu Dewi Utari bercerita, selama ini mereka tak pernah melanggar aturan yang dibuat TNBTS. Bahkan, masyarakat, kata Ayu, selalu menjadi yang terdepan bila ada masalah atau program di kawasan wisata itu.
"Ini local wisdom (kearifan lokal)," kata Kepala Balai Besar TNBTS tahun 2014 itu.
Ia bercerita, suatu saat, sepasang wisatawan berkeliling di puncak kawah Bromo. Sang istri kemudian terpeleset dan nyaris jatuh ke kawah. "Untung segera ditarik oleh orang-orang Marit itu," kenang Ayu.
Kasada di Tengah Erupsi, Marit Tetap Ada
Juli 2016, Gunung Bromo mengalami erupsi berkepanjangan, bahkan menjadi yang terlama. Upacara Yadnya Kasada tahun itu berlangsung di tengah gunung api yang tengah erupsi.
Meski demikian, tak ada yang berbeda dalam pelaksanaannya. Ada ritual di Pura Luhur Poten, juga ritual larung sesaji ke kawah Gunung Bromo seperti biasa. Ribuan warga Suku Tengger dari Probolinggo, Lumajang, Malang, hingga Pasuruan, naik ke puncak kawah.
Pagi buta itu, kawah Gunung Bromo tak hanya mengeluarkan asap dengan bau belirang yang menusuk hidung. Melainkan juga abu vulkanik.
Namun, upacara larung sesaji tetap berlangsung khidmat. Marit juga terlihat maraup berkah di dinding kawah yang tengah erupsi, pada ketinggian 2.329 meter di atas permukaan laut.
Mereka diliputi keyakinan, bahwa mereka mendapatkan perlindungan dari Sang Hyang Widhi dan para leluhurnya. “Kami yakin dijaga oleh mbah Bromo,” kata Agus Sugianto, salah satu warga yang menjadi marit. (*)
Pewarta | : Muhammad Iqbal |
Editor | : Muhammad Iqbal |