TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Pondok Pesantren Sirojut Tholibin, Pohsangit Leres, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, memiliki cara unik dalam menyantuni anak yatim. Dengan menggelar pawai budaya yang diiringi musik tradisional, acara ini berhasil menarik perhatian masyarakat sekitar.
Kelompok musik daul yang terlibat dalam pawai budaya ini terdiri dari beberapa grup ternama seperti Cokro Budoyo, Rana Wijaya, Sawunggaling, dan Singo Wongso Pohsangit Leres.
Suara merdu alat musik tradisional yang mereka mainkan mampu menciptakan suasana meriah dan penuh semangat.
Pawai budaya ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan hiburan, tetapi juga sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak yatim.
Dengan cara ini, diharapkan dapat memberikan kebahagiaan serta keceriaan kepada anak-anak yatim yang mereka santuni.
Kegiatan seperti ini menunjukkan bagaimana tradisi dan budaya lokal dapat dimanfaatkan untuk kegiatan sosial, sekaligus melestarikan warisan budaya daerah.
Ketua panitia Pawai Budaya, Abdul Kalim, mengungkapkan, acara ini rutin digelar setiap 10 Muharram dan telah berjalan selama delapan tahun.
"Berawal dari pemikiran sekelompok pemuda di sekitar Pesantren Sirojut Tholibin," ujar Kalim, Senin (15/7/2024).
Ia menyebut, pada tahun 2017 mereka membuat kerangka atau sasis mobil pikap, kemudian dihias dan dilengkapi dengan alat musik sederhana untuk mengarak sejumlah anak yatim.
"Dari situ kemudian kami bentuk grup Singo Wongso," tambah pria yang berprofesi sebagai pedagang jagung itu.
Grup musik tradisional Singo Wongso ini beranggotakan 35 orang, terdiri dari penabuh saron, bassak, gendang, bass, tamborin, vokal, gamelan, gong, penari, dan pendorong kereta.
Kini, Singo Wongso menggunakan kerangka sepanjang delapan meter dan lebar lima meter dengan dekorasi mewah berkepala singa yang terlihat gagah menawan.
"Dengan penyempurnaan karakter yang seperti sekarang ini, sudah jalan empat tahun," ungkap inisiator Singo Wongso itu.
Panitia pawai budaya mengenakan kostum unik untuk menggalang dana untuk santunan Anak Yatim. (Foto: Ryan Haryanto/TIMES Indonesia)
Nama Singo Wongso sendiri diambil dari nama leluhur masyarakat Desa Pohsangit Leres, bernama Bujuk Singo Wongso, yang dikenal masyarakat setempat akan ilmu kedigdayaannya.
Menyenangkan anak yatim dan menggalang dana untuk menyantuni anak yatim menjadi alasan utama berdirinya grup musik tradisional ini.
Singo Wongso kini semakin dikenal dan kebanjiran job dari berbagai daerah untuk berbagai acara, mulai dari Pasuruan hingga Lumajang.
Meskipun sempat dianggap main-main oleh beberapa tetangga, ide Kalim sukses mengambil hati masyarakat.
"Mungkin karena niat saya untuk mensejahterakan dan menghibur anak yatim," ucap Kalim.
Antusiasme masyarakat luar biasa malam itu. Dengan start dari kantor Desa Laweyan menuju halaman Pondok Pesantren Sirojut Tholibin di Desa Pohsangit Leres, ribuan orang berjejer di sepanjang jalan.
Terlihat salah satu personel sejumlah grup musik itu berkostum Gatot Kaca, Hanoman dan beberapa tokoh wayang lain.
Mereka membawa kotak dari kardus menyodorkan ke penonton untuk ikut berpartisipasi menyantuni anak yatim yang diarak dan didandani bak seorang pangeran dan putri raja.
"Saya dan keluarga rutin ke sini setiap malam 10 Muharram untuk nonton pawai dan sedikit menyisihkan rezeki," ucap Sono, pria asal Kelurahan Kademangan.
Ia mengaku menyalurkan sedikit rezekinya melalui salah satu panitia yang berkostum kera hitam yang bergerak lincah menghibur penonton.
Dalam waktu sekitar empat jam, puluhan juta rupiah terkumpul yang kemudian dibagikan kepada anak-anak yatim yang telah dinaikkan ke atas panggung di halaman Ponpes Sirojut Tholibin.
Sementara itu, Gus Haris, yang diundang khusus dalam acara tersebut, mengapresiasi konsep yang disajikan dengan begitu apik dan berdasarkan nilai-nilai budaya lokal.
"Tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kekuatan budaya lokal digunakan untuk tujuan yang mulia," kata Gus Haris saat dihubungi melalui selulernya.
Calon Bupati Probolinggo itu berharap kegiatan tersebut dapat terlaksana secara berkelanjutan.
Dengan menggabungkan tradisi lokal, seni budaya, dan semangat sosial, Pawai Budaya yang digelar di Pesantren Sirojut Tholibin menunjukkan bagaimana kegiatan budaya dapat menjadi alat untuk kebaikan sosial serta untuk melestarikan nilai-nilai budaya daerah. (*)
Pewarta | : Ryan H |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |