TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Namanya Ambu. Tapi ia banyak dikenal orang dengan sapaan Pak Am. Ia bukan sembarang orang. Pak Am adalah pecinta gowes asal Probolinggo, Jatim, sejak tahun 1950. Hingga di usianya yang sudah menginjak 93 tahun, Pak Am masih eksis bersepeda.
Ya, Pak Am merupakan secuil dari ribuan warga Probolinggo yang hobi bersepeda atau yang kini ngetren dengan sebutan gowes. Baginya, bersepeda bukan sekadar berolahraga dan menyalurkan hobi. Ia menjadikannya sebagai bagian dalam perjalanan hidupnya.
Bukan sekadar isapan jempol pernyataan bahwa bersepeda adalah bagian penting dalam kehidupan Pak Am. Tanpa bersepeda, sulit rasanya akan bisa tetap hidup sehat dan bertenaga hingga saat ini.
TIMES Indonesia bertemu dengannya saat kegiatan gowes bareng yang diselenggarakan oleh majelis sholawat Syubbanul Muslimin, Paiton, Probolinggo, Minggu (25/9/2022) di lapangan simpang empat kompleks Pondok Pesantren Nurul Qadim. Saat itu, Pak Am duduk di sebuah warung dekat digelarnya acara gowes tersebut.
Karena ia masih kelelahan setelah mancal sejauh 13 kilometer, TIMES Indonesia pun tak langsung mengajaknya bicara. Barulah setelah ia menenggak air mineral kemasan botol, TIMES Indonesia pun mulai menyapanya.
"Nak," begitu ia membalas sapaan TIMES Indonesia. Obrolan pun dimulai, dan diawali dengan kisahnya mengenal sepeda.
Pak Am mengisahkan, ia mulai gemar bersepeda sejak tahun 1950 atau sekitar 20 tahun setelah ia terlahir di dunia pada 2 Agustus 1930. Ia merupakan anak dari pasangan Suryo dan Hatijah, warga Desa Prasi, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jatim. Nama Ambu merupakan pemberian dari seorang habib terkenal di Desa Brani Kulon, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Habib Husein bin Hadi Al Hamid.
Ada cerita unik saat proses kelahiran Pak Am. Saat itu, sang ibu yang tengah mengandung usia sembilan bulan hendak pergi ke sawah untuk bekerja sebagai buruh tani. Tapi saat masih berjalan melewati jalan desa, bayi di dalam kandungan itu tiba-tiba bereaksi keras. Bayi itupun terlahir di jalan desa, dengan dibantu warga sekitar. "Mungkin karena lahir di jalan itu, saya kemudian senang bersepeda," katanya sambil tertawa.
Singkat cerita, perjalanan hidup Pak Am tidak jauh dari cerita soal sepeda. Tapi jangan dikira kedua orangtuanya mampu membelikannya sepeda. Alas kaki saja masih untung-untungan bisa membeli. Wajar lah, sebab di zaman itu, warga pedesaan seperti di lingkungan rumah Am kecil serba kekurangan. Bangsa Indonesia saja kala itu masih dalam kekuasaan Belanda.
Pak Am (kostum hijau) saat menerima sepeda gratis. (FOTO: Habib Mahdi for TIMES Indonesia)
Nah, karena masih dijajah Belanda, warga pribumi, termasuk kedua orang tua Am sangat membeci orang-orang Belanda. Berbagai cara dilakukan oleh warga pribumi untuk melawan kolonial. Termasuk upaya Suryo -ayah Am- yang mencuri sepeda pancal milik Belanda yang ditinggal di pinggiran sawah dekat rumahnya.
Sepeda pancal hasil "perlawanan" Suryo terhadap penjajah itupun diberikan kepada Am kecil. Am pun senang, dan selalu mengayuh sepeda itu kemanapun ia pergi. Yang pasti, jangan sampai ketahuan Belanda.
Sejak itulah, Am yang mulai beranjak dewasa gemar bersepeda, hingga ia menutup masa lajangnya dan menikah dengan seorang gadis bernama Asmi, asal Desa Tlogosari, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo. Karena sudah memiliki pendamping hidup, sepeda "warisan" Belanda itu tetap ia pakai untuk berboncengan dengan Asmi.
Hingga usianya menginjak 93 tahun, Pak Am masih eksis mancal. Baik sendirian maupun berkelompok. Seperti saat mengikuti gowes yang digelar majelis sholawat Syubbanul Muslimin. Karena menggilai gowes, ia berangkat mancal dari rumahnya sekitar pukul 6 pagi agar tidak ketinggalan pelepasan gowes.
Tapi perlu diketahui, bahwa sepeda yang ia gunakan saat ini bukan lagi sepeda pancal milik Belanda itu. Setahun lalu, ia mendapat rezeki setelah diberi sepeda gunung oleh Habib Mahdi, cucu mendiang Habib Husein bin Hadi Al Hamid, ulama yang memberi nama Ambu.
Sepeda gunung itu terus ia pakai gowes kemanapun. Meski usianya sudah hampir menginjak dasawarsa, tapi kaki-kaki dan nafasnya masih kuat. Ia pernah mancal ke Jember dan Banyuwangi. Lalu, apa rahasianya sehingga Ambu masih bertenaga?
Rutin Minum Biji Mahoni
Ada rahasia di balik sesuatu yang tidak biasa. Hal itulah yang tepat untuk digambarkan ketika membahas stamina Pak Am. Meski saat ini usianya sudah 93 tahun, namun tubuh rentanya masih kuat mancal.
Pak Am pun menceritakan rahasia resep hidupnya dalam hal menjaga kesehatan. Karena Pak Am tergolong orang kuno, iapun menggunakan resep tradisional. "Setiap pagi saya minum dua butir biji mahoni," katanya, membagikan resep kesehatannya.
Ia menuturkan, resep itu ia terapkan sejak dirinya masih muda. Tidak sulit baginya untuk mendapatkan biji mahoni. Sebab di sekitar rumahnya banyak tumbuh pohon yang memiliki biji rasa pahit itu.
Rutinitas meminum biji mahoni itu tidak hanya ia lakukan di rumahnya. Kemanapun ia pergi, termasuk saat ikut gowes, ia tak lupa membawa bekal biji mahoni yang dibungkus kresek dan disimpan di tas pinggang miliknya.
Selain biji mahoni, ia juga sering minum jamu temuireng. Sama dengan biji mahoni. Rasa jamu temuireng juga tak kalah pahit. "Yang penting sehat, nak" ujarnya.
Menurut Pak Am, rutin minum biji mahoni dan jamu temuireng membuatnya sehat sampai ia memiliki 11 anak, 9 cucu, dan cicit 5. Ia pun masih eksis bersepeda dan mengikuti event gowes , baik yang digelar di Probolinggo atau di luar daerah. (*)
Pewarta | : Rhomadona (MG-410) |
Editor | : Muhammad Iqbal |