TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Pada kontestasi pemilihan bupati dan calon bupati di Kabupaten Probolinggo saat ini tengah menyita perhatian berjuta pasang mata, tak hanya bagi masyarakat Probolinggo melainkan masyarakat Jawa Timur dan Indonesia pada umumnya.
Kabupaten Probolinggo yang selama ini diasumsikan oleh mayoritas masyarakat terkendali oleh kekuatan politik tertentu, namun saat ini isu tersebut sudah mulai luntur dan dijawab oleh masyarakat Kabupaten Probolinggo.
Kali ini hadir sebagai pemain baru di Kabupaten Probolinggo untuk melawan kekuatan yang sangat mengakar adalah dua sosok yang notabene berlatar belakang pesantren, yaitu Gus Haris dan Ra Fahmi. Keduanya sama-sama orang pesantren dan dibesarkan oleh budaya pesantren.
Kehadiran keduanya merupakan momentum yang di tunggu-tunggu. Bukan karena mereka adalah orang pesantren. Tapi karena ada dua kekuatan sebagai kuda hitam yang akan meruntuhkan kekuatan yang sebagian orang mengatakan sebagai kekuatan dinasti.
Saya akan fokus menulis tentang sosok Ra Fahmi. Mengapa demikian? Sebab, kepada lora ini saya memiliki kedekatan emosional dan struktural. Disamping beliau sebagai lora saya di Pondok Pesantren Nurul Jadid, beliau juga adalah pimpinan saat saya menjadi sekretarisnya kurang lebih 10 tahun di Biro Kepesantrenan Pondok Pesantren Nurul Jadid saat itu.
Majunya Ra Fahmi sebagai calon Wakil Bupati menemani Gus Haris membawa angin segar untuk perubahan Kabupaten Probolinggo menjadi lebih baik (sae). Saya mengenal beliau sebagai pribadi yang tegas, konsisten, disiplin dan pengayom serta merakyat. Sepuluh tahun menemani beliau bukanlah waktu yang sangat singkat. Di mana waktu itu banyak persoalan mendasar yang harus dibicarakan dan diselesaikan secara organisatoris.
Dengan gaya kepemimpinannya, organisasi yang dipimpin bisa menjadi organisasi yang hidup dan dinamis. Ra Fahmi bukan tipikal pemimpin yang otoriter, bukan pula pemimpin yang aji mumpung. Ia lebih banyak berkorban demi mensukseskan organisasi yang dipimpinnya.
Melihat situasi politik dan kondisi masyarakat Kabupaten Probolinggo rasanya kehadiran Ra Fahmi akan menjadi jawaban. Masyarakat Probolinggo membutuhkan sosok seorang pemimpin baru yang visioner, merakyat, beradab, yang lahir dari Pesantren.
Bersatunya dua pesantren besar di Probolinggo ini sebagai informasi bahwa Kabupaten Probolinggo tidak sedang baik-baik sehingga membutuhkan figure yang diutus oleh pesantren untuk mendandani Kabupaten Probolinggo. Politik tahun 2024 ini sama halnya dengan bangkitnya demokrasi Kabupaten Probolinggo. Rakyat bisa ikut andil dalam kontestasi perpolitikan tanpa ada rasa cemas dan ketakutan.
Fenomena ini ditandai dengan adanya diskusi-diskusi politik di warung-warung, abang-abang becak dan bahkan banner para kandidat aman tanpa ada oknum yang merusak. Salah satu indikasi dari permainan politik yang baik adalah masyarakat merasa aman dan nyaman.
Dinasti politik menjadi sangat problem bila ini terjadi pada bangs akita. Meritokrasi merupakan lawan dari dinasti ini yang dipandang sebagai penyelamat dari demokrasi yang telah diperjuangkan dan memberikan kesempatan pada anak bangsa yang memiliki kelayakan dan idealisme yang baik.
Banyak orang yang bertanya pada saya berkait hadirnya seorang kiai pada politik praktis. Saya salah satu diantara jutaan umat manusia yang mendorong kewajiban seorang Kiai untuk ikut terjun pada politik praktis. Sebab politik itu suci jangan sampai terkotori oleh para tangan-tangan para pembegal politik yang hanya menjadikan rakyat sebagai sapi perah untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal itu bila terjadi maka kewajiban seorang ulama, kyai, dan orang-orang baik untuk ikut berperang dalam kontestasi ini.
Kiai atau gus jangan lagi dijadikan sebagai modal atau politik semata oleh orang tertentu. Ia harus mampu menghadirkan sosoknya sebagai orang pesantren yang bisa menciptakan peradaban.
Maka, kehadiran Ra Fahmi tidak hanya dipahami sebagai orang yang hanya ingin menjadi orang nomor dua di Kabupaten Probolinggo, lebih dari itu, pertanda bahwa demokrasi atau rakyat Probolinggo sedang bangkit dan kemenangan beliau adalah harga yang tidak bisa ditawar-tawar. Jika tidak, demokrasi akan mati.
***
*) Oleh : Ponirin Mika, Pemerhati Sosial Politik di Kabupaten Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ra Fahmi dan Bangkitnya Rakyat Probolinggo
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |