TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi. Negara yang demokrasi, berorientasi pada kepentingan rakyat. Sebagaimana yang dikatakan Abraham Lincoln, demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Wujud Indonesia sebagai negara demokrasi dibuktikan dengan banyaknya partai politik, baik parlemen maupun non-parlemen. Dan dari partai-partai tersebut, aspirasi rakyat diwakilkan dan ditetapkan dalam regulasi yang disahkan dan diakui oleh negara.
Dalam perjalanannya, demokrasi yang dimobilisasi oleh partai mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika politik yang terjadi dari masa ke masa. Tulisan ini tidak akan mengulas secara lengkap tentang perjalanan demokrasi sejak era reformasi. Melainkan kondisi demokrasi yang terjadi pasca Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Sebagaimana yang kita ketahui, kondisi demokrasi pada saat pelaksanaan Pilpres 2024 dapat dikatakan memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari rentetan proses penentuan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung oleh koalisi partai tertentu.
Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penentuan batas usia calon Wakil Presiden yang menimbulkan banyak polemik, mekanisme kampanye yang menyimpang dari ketentuan KPU yang diabaikan oleh pihak berwewenang, hingga proses pemilihan dan penghitungan suara yang tidak sehat.
Bila kita merujuk pada buku Politik Hukum di Indonesia, karya Mahfud MD yang menyatakan bahwa hukum adalah produk politik jika didasarkan pada das Sein (kenyataan) dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang, maka secara hukum, putusan MK yang diduga didalangi oleh partai politik tertentu menjadi wajar dan sah-sah saja. Namun menjadi salah jika dasarnya adalah das Sollen (keinginan) atau jika hukum tidak diartikan sebagai undang-undang.
Proses pemilu yang tidak sehat ini konon menguntungkan salah satu pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Penulis tidak ingin menuduh bahwa ada pihak tertentu dari para petinggi dalam pemerintahan atau partai tertentu yang mencoba membuat skema politik yang tidak sehat dengan memanfaatkan otoritasnya sehingga menguntungkan salah satu pihak. Namun, dari rentetan proses Pilpres yang problematik tersebut, sangat tampak ada upaya dari pihak tertentu untuk mengebiri kembali demokrasi negara ini secara ugal-ugalan.
Jika memang demikian, kita berharap marwah demokrasi bisa kembali lagi pada konstelasi politik berikutnya di tingkat bawah. Baik Pilkada, Pilgub, dan pemilihan kepala daerah lainnya. Saat ini, konstelasi politik yang paling dekat adalah Pilkada. Kita berharap Pilkada dapat menjadi ajang untuk mengembalikan marwah demokrasi.
Bayang-Bayang Matinya Demokrasi di Pilkada
Proses Pilkada kembali menuai konflik setelah putusan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan batas minimal usia calon wakil gubernur. Putusan Hakim MK yang bersifat final dan mengikat sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU8/2011 yang menyatakan bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum, direspon keras oleh DPR.
Melalui Badan Legislatif, DPR mencoba menganulir putusan MK melalui revisi Undang-Undang Pilkada yang ditetapkan dalam kurun waktu hanya tujuh jam, tidak seperti penetapan RUU lain yang biasanya membutuhkan waktu lama, bahkan sampai saat ini ada yang belum disahkan, seperti RUU perampasan aset.
Upaya menganulir MK yang dilakukan oleh DPR mengindikasikan ada upaya pengebirian demokrasi kembali di Pilkada setelah Pilpres. Sebab, sikap DPR sangat tampak memaksakan kepentingannya untuk mencalonkan orang yang diusungnya. Namun upaya anulir ini gagal setelah mendapat reaksi dan kecaman keras dari masyarakat yang masih memiliki kesadaran demokrasi yang tinggi melalui demo besar-besaran yang terjadi di berbagai daerah.
Matinya demokrasi rupanya masih terbayang-bayang setelah putusan MK gagal dianulir oleh DPR melalui RUU Pilkada. Kali ini, partai politik melalui koalisinya berusaha untuk membuat calon tunggal di setiap daerah. Rupanya usaha ini berhasil. Komisioner KPU RI, Idham Holik melaporkan sekitar 48 daerah di Indonesia hanya memiliki satu pasangan calon (calon tunggal) di Pilkada 2024.
Mengembalikan Marwah Demokrasi
Kita harus menyadari bahwa di negara demokrasi, rakyat menempati posisi tertinggi di antara posisi lainnya. Semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus berdasarkan pada kepentingan rakyat. Semua keputusan hukum harus melindungi dan mengayomi rakyat.
Maka ketika ada kebijakan dan hukum yang tidak berpihak pada rakyat, itu berarti ada upaya dari pihak tertentu untuk mengebiri demokrasi. Atau ketika penindasan terhadap rakyat dilakukan dengan mekanisme yang demokratis, itu berarti demokrasi sedang dipolitisasi.
Dalam kondisi yang demikian, sebagai posisi tertinggi, rakyat sangat berhak mengembalikan kembali marwah demokrasi melalui berbagai cara. Pertama, melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bila DPR mengkhianati janjinya, maka menggunakan cara selanjutnya, yakni rakyat turun langsung seperti demo RUU Pilkada kemarin.
Dalam menyikapi calon tunggal pada Pilkada, kita harus selektif memilih calon pemimpin. Kualitas pemimpin tidak mesti diukur dari kualitas partainya. Tidak sedikit kader partai yang lebih baik dari partainya. Begitu juga tidak sedikit kader partai yang mengkhianati partainya.
Untuk itu, kita harus memastikan calon pemimpin yang kita pilih memiliki integritas yang tinggi, keilmuan yang mumpuni, akhlak yang santun, dan yang tak kalah penting adalah membela dan berpihak pada rakyat. Dengan begitu, marwah demokrasi kembali kita harapkan keberadaannya.
Kondisi saat ini, memaksa kita harus tetap siaga mengawal demokrasi. Saling menyadarkan antara satu dengan lainnya bahwa kondisi demokrasi negeri ini sedang sekarat dan bahu membahu untuk menegakkannya kembali. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum sadar karena terlanjur dibuat nyaman oleh bantuan pemerintah yang bersifat konsumtif dan pembodohan itu.
***
*) Oleh : A. Hirzan Anwari, Magister UIN Malang dan Anggota Al-Mutafakkirun Paiton.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |