Kopi TIMES

Membangun SMA Rasa SMK

Rabu, 15 September 2021 - 15:22
Membangun SMA Rasa SMK Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Kepala SMAN 1 Sumber - Probolinggo..

TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Sejarah pendidikan Indonesia telah mencatat bahwa berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009 dinyatakan bahwa rasio pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan menengah umum ditargetkan sebesar 50:50 pada tahun 2010 dan 70:30 pada tahun 2015.

Kebijakan ini diharapkan dapat memecahkan salah satu permasalahan pengangguran. Peningkatan pendidikan kejuruan bertujuan menyiapkan tenaga terampil untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan tuntutan dunia industri. Kebijakan ini dilaksanakan dengan meningkatkan daya tampung dan kualitas pendidikan menengah kejuruan serta tetap menjaga keseimbangan dan kualitas pendidikan menengah umum.

Detik ini, dampak kebijakan tersebut tentu saja sudah bisa dilihat bagaimana menjamurnya jumlah SMK negeri dan swasta yang ada pada suatu wilayah dibandingkan dengan jumlah pendidikan SMA negeri atau swasta yang ada. UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa SMA merupakan lembaga pendidikan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dalam hal ini tentu Pendidikan Tinggi atau Sekolah Tinggi. Sementara itu, SMK adalah lembaga pendidikan formal setara SMA, MA, dan paket C yang bertujuan menyiapkan peserta didiknya untuk siap bekerja seusai menempuh jenjang SMK.

Berdasarkan tujuan tersebut di atas, pada pendidikan SMA, kurikulum dan aktivitas pendekatan belajar bertujuan membangun kerangka dan nalar berfikir kritis. Dengan demikian, peserta didik menjadi terasah melakukan tindakan penelitian dan wawancara dengan sasaran membuat dan berbagi hasil kajian ilmiah dasar. Desaign pencapaian kurikulum pada pendidikan SMK tentu saja berbeda, kurikulum dan aktivitas pendekatan belajar pada jenjang SMK bertujuan melatih dan menyempurnakan ketrampilan teknis terkait satu bidang profesi tertentu. Dengan demikian, peserta didik terasah melakukan tindakan praktis dan produktif dengan sasaran menghasilkan barang atau jasa siap konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. 

Paparan kebijakan pemerintah di atas menarik sekali untuk diteliti sejauh mana implementasi kebijakan tersebut berjalan secara komprehensif. Jumlah lembaga SMK negeri dan swasta pada semua wilayah jumlahnya sangat jauh dibandingkan dengan jumlah lembaga SMA negeri dan swasta. Perhatian yang begitu besar pada perkembangan SMK tentu saja menjadi kesenjangan tersendiri dengan laju pertumbuhan lembaga pendidikan SMA.

Beragamnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk pendidikan SMK tentu saja membuat eksistensi lembaga SMK semakin kuat, sebaliknya lembaga SMA semakin “gersang”. Ironisnya, program-program yang begitu gencar untuk SMK tidak linier dengan harapan besar terhadap lulusan SMK sebagai pemenuhan kebutuhan tenaga kerja industri. Faktanya, berdasarkan data BPS tahun 2020 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan SMK sebesar 8,49%, dan meningkat tajam pada tahun 2021 pada angka 11, 45%.  Pekerjaan rumah terbesar dunia SMK tentunya untuk mereduksi tagline SMK penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia. 

Perhatian dan harapan besar pada pendidikan SMK yang diikuti dengan banyaknya kucuran dana tentu saja menjadi ketimpangan pada lembaga SMA yang terkesan terabaikan. Terlebih, pada banyak daerah melakukan kebijakan moratorium pendirian SMA negeri dan swasta baru sebagai dampak kebijakan pembatasan pendirian lembaga SMA utuk tidak keluar koridor rasio 70:30.

Sementara itu, pada banyak sekolah dengan setting kearifan lokal yang beragam ternyata banyak sekali ditemukan data banyaknya anak lulusan SMA tidak bisa melanjutkan kuliah sebagai tujuan nyata pendidikan SMA dengan berbagai faktor. Pada akhirnya, lulusan SMA dan SMK berkumpul dan bersatu padu menjadi pencari lapangan pekerjaan. Lulusan SMK yang diharapkan siap kerja ternyata kompetensinya tidak sesuai standart IDUKA, sebaliknya lulusan SMA dengan soft skill dan karakter yang lebih baik malah lebih berpeluang mendapatkan tempat di IDUKA. 

Menarik sekali melihat pemandangan anomali kualitas lulusan SMK dan SMA di atas sebaga bahan kontemplasi dua dunia (baca: dunia SMK dan SMA) untuk segera bangkit dari keterpurukannya. Penulis dalam tulisan ini lebih tertarik untuk mendesaign bagaimana strategi membangun sekolah SMA rasa SMK. Apresiasi yang luar biasa tentunya untuk founder SMA Double Track (DT) yakni kepala bidang Pembinaan SMA Dinas Pendidikan Jawa Timur Ety Prawesti. Kegelisahan panjang atas mati surinya inoasi lembaga pendidikan SMA terkait data pada tahun 2018 terdapat 116.772 siswa SMA yang tidak bisa melanjutkan kuliah dan menjadi ancaman nyata jumlah jamaah pengangguran terbuka usia produktif. 

SMA DT merupakan program unggulan Provinsi Jawa Timur di bidang pendidikan. DoubleTrack merupakan pelaksanaan KBM (kegiatan belajar mengajar) reguler dan menyelenggarakan kegiatan pembekalan ketrampilan secara berdampingan sesuai dengan kearifan lokal. Konsepnya, keterampilan tambahan yang diberikan kepada siswa SMA diporsikan sebagai ekstra kurikuler (Ekskul) dengan ketentuan setiap siswa minimal 1 tahun bergabung dengan ekstra kurikuler yang mereka inginkan.

Selain itu peserta SMA DT juga dibekali keahlian atau ketrampilan dalam bidang tehnologi. Kemampuan ini penting dan menjadi modal lulusan untuk meraih kesempatan kerja maupun wirausaha seiring dengan tumbuhnya marketplace online maupun lapangan pekerjaan baru di bidang online ataupun e– commerce. SMA DT sendiri terdiri dari 7 bidang ketrampilan yang akan menjadi bekal siswa setelah lulus yaitu; multimedia, teknik elektro, teknik listrik, tata boga, tata busana, tata kecantikan, dan teknik kendaraan ringan.

Hadirnya inovasi SMA DT Jatim yang telah diadopsi oleh Kemdikbud harusnya menjadi pintu yang selebar-lebarnya bagi guru atau kepala SMA untuk melakukan inovasi-inovasi lainnya. Inovasi tersebut penting dilakukan untuk menjawab problematika peserta didik SMA yang tidak beruntung bisa melanjutkan kuliah, namun kualitasnya bisa bersaing dengan lulusan SMK. Era merdeka belajar yang terus digelorakan oleh mas menteri bisa menjadi dasar kepala sekolah untuk menyusun kembali visi dan misi sekolahnya agar lulusannya mempunyai daya saing tinggi di era revolusi industri 4.0. Kepala sekolah harus berani melakukan terobosan-terobosan yang cepat dan tepat untuk mengantarkan peserta didik mencapai mimpi sesuai dengan kodratnya. 

Optimalisasi kompetensi kewirausahaan kepala sekolah menjadi langkah awal yang tepat untuk menginisiasi lahirnya terobosan-terobosan pada lembaga pendidikan SMA. Kompetensi kewirausahaan menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah yaitu: a) menciptakan inovasi, b) bekerja keras, c) memiliki motivasi yang kuat, d) pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik, serta e) memiliki naluri kewirausahaan. Kepala sekolah yang memiliki kompetensi kewirausahaan tinggi akan berpengaruh terhadap kemajuan, perkembangan, kemandirian, dan daya saing sekolahnya. Sebagian besar pengaruh kemajuan, pengembangan, dan kemandirian sekolah berasal dari kepala sekolah yang memiliki kompetensi kewirausahaan yang tinggi. Lantas langkah cerdas apa yang bisa dilakukan oleh kepala sekolah?

Modifikasi kurikulum menjadi langkah awal bagi kepala SMA untuk membangun sekolahnya rasa SMK. Modifikasi tersebut dilakukan dengan melakukan sinkronisasi kurikulum dengan Industri dan Dunia Kerja (IDUKA) secara berkelanjutan. Langkah selanjutnya adalah membangun networking yang kuat antara sekolah dengan Industri dan Dunia Kerja (IDUKA) sebagai tempat magang siswa dan guru, kesediaan menjadi guru tamu di sekolah, tempat uji kompetensi peserta didik, dan penempatan lulusan. Berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan link and match antara sekolah dengan IDUKA tentu saja harus dilakukan dengan manajerial yang tepat tanpa harus merusak entitas pendidikan SMA. Salah satu bentuk inovasinya adalah membentuk kelas IDUKA di sekolah bagi peserta didik yang bedasarkan verifikasi guru BK benar-benar tidak memungkinkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. 

Penguatan soft skill, hard skill, dan karakter menjadi prioritas yang akan menjadi bekal peserta didik SMA ketika lulus terlebih bagi yang langsung ingin bekerja. Penguatan soft skill tentu saja harus diawali dengan pembangunan kultur sekolah dengan platform gerakan sekolah menyenangkan.

Pengembangan kultur sekolah dengan platform GSM sangat tergantung pada peran kepala sekolah. Kepala sekolah harus mampu menjadi penggerak perubahan (change-maker) dalam pengembangan kultur akademik, kultur mutu dan kultur sosial dalam lingkungan sekolah. Harapanya, dengan terciptanya sebuah kultur sekolah yang baik akan menumbuhkembangkan soft skill peserta didik dengan kemampuan interpersonal dan kemampuan personal yang luar biasa. Penguatan hard skill seperti terdiskripsikan di atas yaitu melalui pembentukan kelas IDUKA. Sementara itu, penguatan pendidikan karakter melalui pembentukan Profil Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global. Salah satu inovasi untuk mendukung gerakan tersebut dengan membuat gerakan SMA Manunggal TNI dan SMA Manunggal POLRI.

Menciptakan Guru Penggerak sebanyak-banyaknya di sekolah sangat penting dilakukan oleh kepala sekolah. Guru penggerak adalah guru yang mengutamakan dari hal lain, bahkan dari karirnya sendiri, mengambil tindakan-tindakan tanpa disuruh, tanpa diperintahkan untuk mengambil yang terbaik bagi muridnya. Guru penggerak dapat melakukan perubahan-perubahan kecil penuh kebaruan yang dimulai dari ruang kelas tanpa menunggu komando. Adegium yang menyatakan sebagus apapun kurikulumnya tidak akan pernah mampu mengubah wajah pendidikan dengan tidak adanya peran guru sebagai garda terdepan.

Guru harus mampu menterjemahkan dengan baik merdeka belajar, guru harus terus upgrade kompetensinya, karena sudah bukan jamannya lagi guru masuk kelas dan hanya melakukan ceramah dan di akhiri dengan penilaian di akhir semester. pada pembelajaran abad 21, guru seharusnya bisa mengemas sekian ceramahnya tersebut dengan memanfaatkan teknologi, menciptakan konten-konten pembelajaran menarik sesuai selera generasi milenial. Selanjutnya, siswa dapat menikmati konten tersebut kapan saja sehingga waktu tatap muka bisa dimanfaatkan dengan model pembelajaran berbasis project (PBL). Akhirnya, dengan semangat gotong royong, yakinlah bahwa kita bersama bisa membangun SMA rasa SMK. 

***

*) Oleh: Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd, D.PEd; Kepala SMAN 1 Sumber - Probolinggo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Probolinggo just now

Welcome to TIMES Probolinggo

TIMES Probolinggo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.