Kopi TIMES

Nalar Keilmuan Pesantren, Husserl dan Makna Fenomenologis “Barakah”

Selasa, 14 Juni 2022 - 19:33
Nalar Keilmuan Pesantren, Husserl dan Makna Fenomenologis “Barakah” Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

TIMES PROBOLINGGO, JEMBER – Ragam makna dan sebutan diberikan pada era saat ini. Ada yang menyebut dengan era digital, era cyberspace, era metaverse dan lain sebagainya. Di satu sisi, masyarakat dunia berada pada era kemajuan sains dan teknologi yang tak terbendung dan tak bisa dikendalikan. Sementara pada sisi lain, umat manusia juga dihadapkan pada proses pencarian arti dan makna kehidupan mereka di dunia yang serba canggih ini.

Bagi umat Islam sendiri proses pencarian arti dan makna kehidupan itu sendiri merupakan bagian dari ajaran agamanya. Islam tidak hanya mengajarkan untuk berlomba-lomba menumpuk kekayaan harta dan materi dunia, tapi juga mengingatkan betapa pentingnya eksistensi kehidupan di akhirat kelak. Dalam hal ini sikap proporsional terhadap keduanya merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh seorang muslim.

Di dunia pesantren model pemahaman seperti tersebut di atas sangat ditekankan sekali. Di era digital ini pesantren masih konsen dan berpijak akan pentingnya membangun peradaban dunia dengan berlandaskan pada nilai-nilai material keduniawian dan spiritual keagamaan. Kedua nilai tersebut diajarkan kepada para santri dalam memandang dunia dan memaknai kehidupan ini. 

Pesantren sendiri merupakan sebuah dunia yang unik bagi para santri. Ragam fenomena ditemukan dan dijumpai oleh para santri di pesantren. Misalnya, ada sebagian santri yang istiqamah membersihkan makam pendiri pesantren, membersihkan kamar mandi para santri, mengaji di makam/asta pada malam hari, mengasuh putra-putri para Kiai di pesantren dan sebagainya. Keseluruhan perilaku tersebut tentulah harus dilandasi dengan keikhlasan dan mengharap ridla Allah Swt semata.

Seluruh tradisi yang dilakukan tersebut terpusat pada konsep fenomenal yang terdapat di pesantren yakni “barakah”. Dalam benak para santri, seluruh aktifitas yang dilakukan di pesantren dilandaskan pada konsep tersebut. Mereka menyebutnya dengan bahasa “ngalap barakah”. Ketika para santri tersebut terjun di masyarakat mereka ternyata menjadi tokoh masyarakat (tomasy) yang diikuti dan dihargai. Mereka bahu membahu berjuang ikut membangun masyarakat seperti pada awal mula para pengasuh membangun dan mendirikan pesantrennya.

Sementara itu di masyarakat kita sendiri, di Indonesia, terutama bagi mereka yang alumni (mutakhorijin) pesantren, konsep “barakah” masih sangat diakui eksistensinya. Mereka meyakini adanya “barakah” karena perilaku yang mereka lakukan atau pengabdian selama di pesantren.  
Bagaimana kita memaknai konsep “barakah” di era serba maju seperti saat ini? Adakah landasan historis dan filosofis dari konsep tersebut?

Di era modern para santri disuguhkan informasi tentang kisah “barakah” dari KH Hasyim Asy’ari dengan segala keikhlasannya ketika nyantri kepada KH Syaikhona Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil lantas merestui beliau dan menyuruh untuk mendirikan pesantren di Tebuireng Jombang yang hingga kini menjadi salah satu mercusuar pesantren di Nusantara.

Pada era klasik, di beberapa kitab sejarah (tarikh) dikisahkan tentang konsep “barakah” antara guru-murid yang masyhur yakni Imam Malik dan Imam Syafi’i. Suatu ketika Imam Malik bermimpi bertemu Nabi Muhammad Saw yang menitipkan salam untuk Imam Syafi’i. Balligh salami ila Syafi’i. Sampaikan salamku kepada Syafi’i. Imam Malik kemudian menugaskan santrinya untuk menyampaikan salam dari Nabi SAW tersebut.

Imam Syafi’I sangat bersuka cita sekali dan menghadiahkan jubah kebesarannya kepada santri tersebut. Imam Malik heran apa yang membuat santri tersebut begitu gembira. Ternyata karena hadiah jubah Imam Syafi’i. Sang Imam pun kemudian memintanya untuk dicuci dan meminum air dari bekas cucian jubah tersebut. 

Pada era Kenabian kita disuguhkan kisah tentang kebesaran sahabat Nabi SAW, Khalid bin Walid. Beliau dikenal sebagai salah seorang panglima perang besar Islam yang berhasil membawa panji-panji kemenangan hingga Islam dikenal di luar Makkah dan Madinah. Diceritakan mengapa beliau selalu berhasil memenangkan pertempuran dengan musuh-musuh Islam. Beliau selalu membawa “rambut” Nabi Saw di setiap pertempuran yang dikomandoinya.  

Di samping telaah historis tersebut, konsep “barakah” bisa juga ditelusuri melalui perspektif filosofis dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi dipopulerkan oleh Edmund Gustav Albrecht Husserl (1859-1938), seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Pendekatan fenomenologi mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif. 

Menurut Zaprulkhan (2016) Husserl menggunakan term fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran dengan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran ke dalamnya. Slogan Husserl adalah “Zuruck zu den Sachen selbst”, (kembalilah kepada realitas/benda-benda itu sendiri).

Dalam konteks ini menurut Akhyar Yusuf Lubis (2016) Husserl menggunakan metode epoche. Kata “epoche” berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda putusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu yang dilatarbelakangi oleh pandangan keagamaan, teori ilmiah, atau filsafat hidup yang dianut.” Fenomenologi berupaya membiarkan realitas terungkap apa adanya. 

Penggunaan pendekatan fenomenologi dalam studi agama merupakan reaksi atas dua metode pendekatan sebelumnya, yaitu pendekatan teologi-normatif dan pendekatan reduksionisme. Pendekatan teologi menjadikan agama pengamat sebagai kategori praanggapan dalam memandang agama lain, yang tentu saja terjadi bias karena ukuran normatif agama pengamat dijadikan instrumen penilai agama lain. Pendekatan reduksionisme menjadikan reduksi ontologis dari fenomena keagamaan dalam bentuk seperti fenomena sosial, ekonomi, politik, psikologi, dan sebagainya.

Pada perkembangan berikutnya menurut Amin Abdullah (2002) Mircea Eliade mengembangkan metode fenomenologi empirik yang dipadu dengan pendekatan historis.  Dari sinilah fenomenologi dibagi menjadi dua bagian, yakni fenomenologi agama esensial dan fenomenologi agama konkrit. Fenomenologi esensial membahas struktur internal esensi keagamaan yang mencakup hal-hal yang “sakral” dan “Realitas Mutlak”. Fenomena konkrit mengkaji data-data keagamaan sebagai ekspresi keberagamaan yang terwujud dalam sejarah, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

Fenomena esensial bersifat sinkronik terlepas dari hukum ruang-waktu (spatio-temporal). Fenomenologi esensial mendeskripsikan pengalaman keagamaan dalam persentuhan manusia dengan Yang Maha Mutlak, sedang fenomenologi konkrit bersifat diakronik karena mengamati fenomena keagamaan termanifestasi dalam ruang-waktu (spatio-temporal) dalam sejarah peradaban manusia. 

Dalam fenomenologi kita berupaya mengungkap makna dan nilai dari sesuatu, baik berupa benda, perilaku manusia, atau alam, sehingga terkesan bahwa obyek yang diamati tersebut benar-benar tampil apa adanya tanpa ada pretensi yang berlebihan dari pengamat. Obyek yang diamati dalam konteks fenomenologi akan “berbicara” sendiri, tetapi kandungan nilai dan makna yang tercakup dalam obyek tersebut tidak dapat dibahasakan sendiri oleh obyek itu. Oleh karenanya dibutuhkan manusia sebagai pengamat untuk mengangkat pesan-pesan, berupa nilai dan makna yang inheren dalam obyek tersebut. Obyektivitas seorang pengamat/peneliti dalam fenomenologi sangat urgen adanya untuk menghindari pemahaman (verstehen) yang berlebihan sehingga mengurangi nilai atas obyek yang diamati. 

Potret keberagamaan seseorang dalam memaknai agamanya ditengarai sangat subyektif sekali. Melalui dua bentuk fenomenologi inilah—fenomenologi agama esensial dan fenomenologi agama konkrit—studi Islam menjadi ranah ilmiah yang menjanjikan untuk dimasuki. Dari sinilah pintu masuk fenomena “barakah” dapat dimaknai.

Dalam telaah fenomenologi agama tersebut fenomena “barakah” merupakan ranah esensi dan eksistensi sekaligus. Dikatakan ranah esensi karena “barakah” sendiri merupakan konsep makna yang bisa didasarkan pada wilayah ilmu hudluri (ilmu yang berasal dari cahaya Ilahi). Disebut eksistensi karena fenomena “barakah” secara eksistensial dapat dimaknai secara logis oleh mereka yang meyakininya. 

Dalam penjelasan KH Ahmad Bahaudin Nursalim atau yang dikenal dengan Gus Baha’ terdapat dua logika dalam kehidupan, yakni logika nubuwwah dan insaniyah. Logika nubuwwah terjadi berdasarkan logika ketuhanan yang terkadang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia yang serba terbatas. Sementara logika insaniyah bekerja berdasarkan akal atau rasio manusia yang berlandaskan hukum sebab akibat (kausalitas) yang mendasari terjadinya ragam peristiwa di dunia ini. 

Dengan demikian esensi dan eksistensi makna adanya “barakah” mendapat ruang yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Baik dari sisi keilmuan ilmiah Barat modern yang kini berjalan tanpa dapat dikendalikan. Terlebih lagi, dari ranah keilmuan Islam yang lebih luas   cakupan epistemologinya.

Menolak secara mentah-mentah adanya “barakah” sangat tidak bijak. Karena realitas telah berbicara sendiri dan membuktikan akan esensi dan eksistensinya.

***

*) Oleh: Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_____
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Probolinggo just now

Welcome to TIMES Probolinggo

TIMES Probolinggo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.