Kopi TIMES

Terorisme dan Kritisisme

Kamis, 23 Juni 2022 - 01:34
Terorisme dan Kritisisme Fathur Roziqin, Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi 2019 Universitas Islam Negeri Kiyai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember.

TIMES PROBOLINGGO, JEMBER – Pada 1 Juni lalu kita baru saja merayakan Hari Pancasila. Itu artinya kita merayakan kegembiraaan atas damainya-serta-tenteramnya negeri ini.

Namun kini kita dikejutkan penangkapan pimpinan Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja, yang pernah berafiliasisi dengan kelompok teroris, Abu Bakar Baasyir, yang merupakan sahabat karibnya sempat terlibat dalam pengeboman pada 1985. Itu artinya rumah kita bernama Indonesia ini masih potensial kedodoran penjahat dan menuntut pengawasan intens—kita masih memiliki tantangan besar dalam merawat dan menjaga keutuhan negeri ini.

Dalam kasus yang kini tengah beredar luas, yang mula-mulanya sempat mencuat aksi konvoi ‘Kebangkitan Khilafah’ di wilayah Cawang, Jakarta Timur, salah satu Amir Khilafatul Muslimin ini, Muhammad Abudan, mengklaim bahwa organisasinya itu berbeda dengan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Jika pengakuannya demikian, lantas mengapa ketika konvoi berlangsung banyak gambar-gambar bertuliskan Khilafah Solusi Tuntas Problematika Ummat (dan kalimat serupa lainnya)? Bukankah slogan-slogan ini tidak jauh berbeda dengan kelompok HTI tersebut?

Jika kita mencermati atribut-atribut yang dipakai, cara mereka menyebarkan paham,  kajian-kajian yang mereka sajian, bahkan hingga ideologi yang mereka imani—tidak jauh berbeda dengan kelompok lain seperti JI, NII, JAD, dan ISIS. Hanya saja pola dakwah Khilafatul Muslimin ini dipoles sedemikian rupa untuk menutupi visi misinya dengan mengaku bahwa “kami tidak bertentangan dengan Pancasila”. Yang perlu dicatat ideologi mereka ini adalah bahwa mereka berani mengkafirkan sistem negara yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Idealisasi pandangan yang konon paling benar dan di luar pandangnya adalah salah! 

Sesuatu yang sudah kuno dan basi kalau berasumsi bahwa Pancasila tidak sesuai dengan agama! Seolah-olah kalau kita bernegara—itu berarti kita anti agama. Padahal agama dan negara (begitu sebaliknya) ini sudah bersuami istri sakinah mawaddah warahmah. Jelas ini akan merusak sumberdaya ideologis negara yang bernama Pancasila. Organisasi Khilafatul Muslimin ini masuk ke dalam ciri-ciri kelompok radikalisme, ekstrimisme, dan konsumerisme, yang mencoba-gantikan Pancasila menjadi negara agama, maka, dapat kita pastikan bahwa kelompok ini berbahaya dan harus kita waspadai dan kalau pelu kita perangi gagasan-gagasannya!

Satu hal yang harus diperhatikan terhadap munculnya gejala terorisme ini yaitu generasi muda. Kita tidak menihilkan bahwa sebagian generasi muda rentang sekali tersengat ajaran terorisme sebab pemahaman agama mereka masih sangat dangkal dan terbatas. Sehingga alam pikiran mereka gampang tersusupi dan bahaya sekali jika doktrin terorisme mengakar dalam benaknya. Untuk itu kesadaran kritis sangat dibutuhkan—baik orang dewasa maupun muda—manakala kita dihadapkan pada ajaran dan doktrin yang mencoba membentur-benturkan Pancasila dengan agama. 

Orang yang terperangkap ajaran terorisme pada dasarnya lemah dalam mencerna doktrin ajaran terorisme. Maka yang bakal terjadi, setelah mereka terperangkap dalam kubangan ajaran itu, nilai-nilai kritisme dalam alam pikiran hilang dan imajinasi tidak mampu membedakan mana ajaran agama suci dan mana kejahatan berbasis agama yang ternodai. 

Para korban itu terlampau patuh pada doktrin ajaran (atau aturan ideologi mereka) yang sebenarnya merusak sendi-sendi pokok ajaran agama dan, akibatnya, segala perintah ajaran terorisme itulah mereka imani secara buta. Adolf Eichmann, tokoh penting pengorganisasian holocaust (pembunuhan massal), ketika ditanya Hanna Arent mengapa mendeportasi orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi Jerman terkait pembunuhan massal itu—menjawab bahwa ia melakukan semua itu dalam rangka menjalankan tugas. 

Dan menjalankan tugas adalah sebuah kewajiban bagi perwira militer. Pada saat itulah, menurut Hanna Arent, Adolf Eichmann kehilangan kesadaran kritisismenya dan lemah daya imajinasinya dalam mencerna aturan atau perintah atau ajakan. Pengalaman keji Adolf Eichmann adalah contoh bagaimana ajakan atau perintah serta aturan dalam suatu organisasi bisa menjelma kejahatan tak kasat mata—yang oleh Hanna Arent dibahasakan banalitas kejahatan—doktrin yang telah bersemayam kuat dalam alam pikirannya sehingga menimbulkan tindakan-tindakan amoral tanpa pelaku sadari. 

Hal ini sebagaimana doktrin idelogi para teroris yang suka mempertentangkan antara agama dengan negara, antara Pansacila dengan kitab suci. Setelah mereka berhasil menggaet sasarannya—baru kemudian tahap selanjutnya ialah pencucian otak dengan dalih jihad agama sebagai tiket masuk surga plus bidadari yang dijanjikannya. Pada titik pencucian otak itulah korban tidak mampu menangkap dan mengkritisi suatu yang bertentangan dengan ajaran agama dan kemanusiannya. 

Maka dari itu, hal penting yang perlu disikapi secara kritis ialah ideologi ajarannya dan patut kita pertanyakan kalau suatu kita mereka mencoba menyebarkan virus-virus ke khalayak umum. Oleh karena itu, dibutukan peran pemuka agama-agama untuk memberikan arahan para pemeluknya. Sebab kini ajakan menjadi bagian kelompok terorisme ini tidak hanya merekrut umat muslin saja, melainkan umat agama-agama lain yang kini turut menjadi sasarannya—ringkasnya semua kalangan jadi target mereka, lebih-lebih generasi muda. 

Para orangtua, guru, tokoh masyarakat, ormas keagamaan masyarakat tepercaya kesahihan ajarannya serta mahasiswa, dosen, pemerintah, pemangku kebijakan dan semua elemen masyarakat, juga turut berperan penting dalam menyuarakan dan memperingatkan kepada masyarakat bahayanya kejahatan berbasis agama ini.

Sinergitas antargolongan patut bekerjasama dalam memangkas ajaran serta ajakan kejahatan terorisme berbasis agama ini. Untuk itu mari membumikan dan menyuarakan nilai-nilai agama yang ramah, kritis, inklusif, toleran, serta membanggakan Pancasila sebagai pedoman hidup harus kita bela untuk hidup damai bersama dengan menjaga dan merawat keutuhan negeri ini. Dengan demikian, kita setiap hari dapat selalu merayakan Hari Pancasila—yang tidak harus tanggal 1 Juni.

***

*) Oleh: Fathur Roziqin, Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi 2019 Universitas Islam Negeri Kiyai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Probolinggo just now

Welcome to TIMES Probolinggo

TIMES Probolinggo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.