TIMES PROBOLINGGO, JAKARTA – Tafsir kita terhadap ekologi ternyata berbeda dengan para pembuat kebijakan. Mereka memaknai hubungan ekologi dan kapitalisme memberi manfaat yang baik untuk kehidupan ekonomi manusia.
Sedangkan warga negara biasa yang terdampak langsung menilainya sebagai bentuk eksploitasi yang mengancam ekosistem dunia.
Dalam situasi ini, letak eko-hermeneutika bertentangan dengan doktrin kapitalisme, yang prinsipnya hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan mengejar keuntungan. Untuk membahas lebih jauh, adalah bagaimana kepentingan manusia sebagai makhluk berakal (rasio) menafsirkan kapitalisme dan ekologi? Apakah guncangan kekuatan kapitalisme merupakan penyebab matinya rasio manusia?
Benturan Kepentingan
Dalam kasus di Indonesia, ekologi difantasikan banyak kalangan, terutama dari golongan elite yang picik, sebagai sumber kehidupan adalah nyata dan menggembirakan.
Secara fundamental dapat terdeteksi kerusakan adalah kegembiraan hakiki bagi mereka yang mencari untung. Berbeda dengan masyarakat yang terdampak, kerusakan merupakan wujud dari keliaran dan nafsu akan kuasa kekayaan elite yang timpang.
Benang merah dari prinsip dua subyek di atas, pelaku yang menerima untung dan pihak yang dirugikan, adalah soal interpretasi dialogis dari hasil pembacaan yang menggunakan lensa ekonomi terhadap melimpahnya sumber daya alam.
Pertentangan makna atas hasil pikiran masing-masing dari keduanya tentu berbeda, namun tidak dapat dimaklumi; keuntungan sepihak akan menimbulkan ketimpangan, dan kerugian yang timbul tidak dapat dibiarkan.
Ini problem serius jika diukur pada tataran pemaknaan terhadap sumber daya alam dalam kehidupan manusia. Senantiasa tidak berirama. Bicara keuntungan, siapa yang diuntungkan. Bicara kerugian, selalu ada dan terus-menerus terjadi. Problematik.
Pada kondisi praksis, permasalahan ini terus membanjiri tata bahasa kita sehari-hari, dipercakapkan oleh semua manusia. Di satu sisi, kita melihat penjarahan sumber daya alam semakin menggila. Sementara kita masih menganut prinsip: terpenting manusia puas dan gembira di sisi lain.
Pada suatu waktu, Alex Kirbi, menerbitkan sebuah catatan kritis tentang penjarahan daya alam bumi. Jurnalis lingkungan dari Inggris ini mengatakan bahwa kepentingan manusia untuk menggerogoti struktur bumi semakin tumbuh pesat, bahkan mencapai 200 persen.
Angka ini meningkat tiga kali lipat dalam kurun waktu 40 tahun. Peningkatan ekstraksi sumber daya alam dari 22 miliar ton sejak 1970 menjadi 70 miliar ton pada 2010. Ini belum terhitung dengan jumlah total selama 14 tahun terakhir.
Dilansir dari International Crisis Group, Indonesia juga turut menyumbang kerugian itu. Bahkan dimulai sejak 1960-an. Pengerukan sumber daya alam bahkan memicu ketegangan struktural antara pemerintah vs masyarakat dan swasta vs masyarakat.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan yang membuat beragam macam aturan, swasta terhitung banyak melakukan pelanggaran, dan masyarakat adalah subjek yang selalu dikorbankan.
Karena itu ada tiga pola yang saling berhubungan di mana manusia terdiri dari macam-macam corak dan kepentingan. Dia menjadi makhluk berakal, dia memiliki kehendak untuk selamat, dia juga bertindak merusak.
Sebagai makhluk berakal dia akan berpikir semua harus diuntungkan. Sebagai kapitalis, dia bertujuan memonopoli demi keuntungan dirinya sendiri. Sebagai warga negara yang dirugikan, dia akan bangkit menjadi kelompok perlawanan.
Adu Kekuatan
Ada pendapat yang mengatakan bahwa tidaklah tepat matinya rasionalitas akibat dari bangkitnya kekuatan kapitalisme secara mutlak. Ini pendapat paling konyol. Dalam sejarah peradaban manusia dengan segala bentuk dinamika di dalamnya, salah satu pertentangan yang paling menonjol adalah kapitalisme.
Kekuatan ini pada gilirannya memonopoli kekayaan hanya di tangan segelintir orang. Cara kerja mereka mengakibatkan kesenjangan yang mencolok, dan jutaan orang harus hidup dalam kemiskinan dan mengalami kelaparan.
Mereka, para kapitalis dan pendukungnya, mengesampingkan rasionalitas, dan mendesain sedemikian rupa untuk menghindari rasa empati antar sesama atas nama humanisme. Tepat kiranya, seperti yang dianalisis Nathalia Pouokam dalam bukunya Inclusive in Growth (2021).
Akademisi Oxford ini mengatakan, risiko pemerintah yang cupet akan lebih menyukai penipisan sumber daya alam secara cepat daripada strategi pembangunan jangka panjang yang mendukung iklim bisnis yang produktif dan merata.
Pemerintah sendiri juga menciptakan kekayaan melalui sumber daya yang memicu korupsi dan membuat negara terperangkap dalam lingkaran setan tata kelola yang buruk dan pertumbuhan yang rendah.
Berhubungan dengan analisis di atas, pendefinisian hubungan antara rasionalisme dan kapitalisme sudah cukup banyak di kalangan ilmuwan dunia, misalnya Max Weber, Giddens, Gorz, dll.
Meski pemikiran mereka juga dikoreksi sedetail mungkin dengan ungkapan-ungkapan sinis dan dianggap dangkal. Tetapi itulah kegunaan dialektika kehidupan para intelektual; tidak ada yang hidup bebas dari kritik, dan akan senantiasa memicu perkembangan ilmu pengetahuan setiap kurun waktu berjalan.
Dalam gelombang kekuatan kapitalisme yang terus bergulir, saya sependapat dengan Amir Hernandes, seorang Fisikawan, dalam tulisannya Capitalisme, Rasionalitas and Steven Pinker (2022), bahwa kerapuhan peradaban hanya dapat diatasi dengan akal sehat, tetapi akal sehat itu sendirilah yang dirusak oleh kapitalisme.
Bahkan kenyataan lebih mengerikan, rasionalitas tidak dipandang sebagai pandu yang menafsirkan alam dan segala isinya untuk sebuah kebaikan dan kesejahteraan bersama. Justru dijadikan instrumen untuk menciptakan drama kekuasaan, menghitung kelangsungan bisnis, dan membuat birokrasi pemerintahan amburadul.
Premis menarik lainnya, adalah penggabungan rasionalisme dan kapitalisme, atau rasionalitas kapitalisme, sebagai gagasan yang dipromosikan John Maynard Keynes dan Joseph Schumpeter di abad ke-20.
John Bellamy Foster (2005), menyebut keduanya adalah perwakilan terkemuka dari ilmu ekonomi borjuis. Selain Foster banyak dari para sarjana yang berpendapat kurang lebih sama, bahkan menandingi dengan dasar argumentasi Karl Marx, Hayek, dll.
Namun ini adalah kekeliruan, James Crotty dalam bukunya Keynes Against Capitalism (2019). Di situ Crotty mengatakan bahwa ada kegagalan atas penafsiran pemikiran Keynes, termasuk tujuannya untuk menyelamatkan kapitalisme Inggris. Mengejutkan, Crotty mengatakan bahwa justru sebaliknya Keynes berkeinginan menggantikannya dengan sosialisme liberal.
Akan tetapi, terlepas dari soal perbedaan terminologi atau apapun itu, mungkin kita cukup melihat fakta-fakta yang terjadi sekarang. Ambil yang terdekat dan paling teranyar adalah kondisi kekuatan kapitalisme di Indonesia di era kepresidenan Jokowi.
Kim Kyunghoon dalam jurnalnya Key Features of Indonesia’s State Capitalisme Under Jokowi (2022), ia mengatakan bahwa Indonesia masih dibayangi dengan kapitalisme melalui dua jalur selama kepemimpinan Presiden Jokowi, yakni kapitalisme di sektor ekonomi melalui liberalisasi pasar, dan masuknya kapitalisme dalam demokrasi politik.
Persis yang dikatakan Branko Milanovic dalam Capitalisme, Alone: The Future of the System That Rules the World (2019), yang mencontohkan dua bentuk kapitalisme yang saling mengapit; meritokrasi liberal dan kapitalisme politik.
Pertama yang ia katakan adalah, meritokrasi liberal ada pada mereka yang tergolong kelas atas; mengendalikan dan mengontrol semua modal finansial, kemudian dalam waktu bersamaan bertindak secara politis dan mematuhi hukum dengan cara tidak bermoral, bahkan mengkooptasi sumber daya manusia berkualitas yang berasal dari kelas bawah.
Kedua, kapitalisme politik terpolarisasi secara terstruktur dalam birokrasi yang hanya bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi yang maksimal sekaligus memandu jalannya perencanaan nasional demi kepentingan sektor swasta.
Atas nama kepentingan kapitalisme, kalau mau didudukkan pada posisi kepentingan antara pemerintah dan swasta, maka posisi rakyat tidak sepadan dan tidak memiliki kekuatan besar untuk mengendalikan pasar, politik, dan tidak mendapat bagian dan manfaat apapun dalam pertumbuhan ekonomi karena minus pemerataan.
Tentunya, posisi rasionalitas akan bertentangan dengan itu. Sederhananya, secara akal sehat rakyat melihat kapitalisme tampak lebih brutal dan senantiasa mempengaruhi arah kebijakan sumber daya alam dari waktu ke waktu. Sebagai warga negara biasa, kita pasti menolak.
Jalan Tengah
Kasak-kusuk ini bermula dari soal cara pandang, dari kebijakan, hingga tahapan implementasi. Cara pandang yang dimaksud dimulai sejak dalam proses pembentukan kebijakan yang idealnya harus melalui proses politik yang matang.
Proses ini harus melibatkan prinsip paradigma yang rasional sebagai lensa konseptual yang mampu menghadapi setiap tantangan ke depan. Tentu saja, kalau timbul kesalahan di awal maka akan mengikuti tahapan selanjutnya yang menimbulkan bermacam persepsi kontroversial.
Jalan tengah untuk mengatasi hal ini adalah, membumikan prinsip eko-hermeneutika sejak awal. Seperti yang saya singgung di atas terkait rasionalisme. Di dalamnya, para pembuat kebijakan harus memahami secara komprehensif tentang eko-hermeneutika.
Dia sebagai fondasi yang akan memberi pendekatan interdisipliner untuk berupaya memaknai hubungan antar manusia dan alam, dan segala upaya yang berkonsekuensi pada perusakan. Makna eko-hermeneutika secara garis besar menganjurkan sekaligus mempertanyakan nilai signifikansi ekologis.
Sederhananya, kapitalisme berupaya menekankan kepada berbagai macam inovasi sebagai pendorong perubahan, sedangkan eko-hermeneutika menghendaki agar ada pertimbangan etika yang menolak praktik perusakan lingkungan yang tidak berkelanjutan.
Di sini eko-hermeneutika dapat berfungsi sebagai alat penafsiran terhadap kepura-puraan kapitalisme yang selama ini masuk dalam ruang politik untuk mempengaruhi kebijakan eksploitasi sumber daya alam.
Karena itu eko-hermeneutika harus kembali dipopulerkan dalam siklus pengetahuan modern saat ini, menjadi jalan tengah untuk memaknai paradigma kebijakan pembangunan berbasis sumber daya alam.
Sebagai catatan akhir, saya hendak menyampaikan bahwa membuat kebijakan ekonomi merupakan kerja politik. Memahami alam dan seisinya adalah tugas hermeneutik. Malangnya, yang merusak semua itu adalah kerja nyata para kapitalis.
Sebagai rujukan, eko-hermeneutika sangat mudah kita jumpai dalam banyak literatur barat. Bentuk tunggalnya (hermeneutika), dikembangkan oleh Heidegger, Schleiermacher, Dilthey, Ricoeur, dll.
Dan, dalam bentuk jamak, salah satunya eko-hermeneutika, semakin diminati khalayak melalui tulisan-tulisan Joseph Sittler, Richard Baer, dan Lynn White, Palmer, dll.
***
*) Oleh : Igrissa Majid, Indonesia Anti-Corruption Network.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Membumikan Eko-Hermeneutika
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |