TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Islam mengajarkan bahwa seorang muslim tidak hanya memperhatikan kesalehan ritual semata, akan tetapi juga yang perlu diperhatikan adalah kesalehan sosial dengan cara menjalin hubungan kerja sama yang harmonis dengan masyarakat sosial. Karena seseorang tidak akan bisa berfungsi dengan baik dan mengaktualkan kemanusiaannya secara sempurna jika tidak mampu menjalin kerja sama antara satu dengan lainnya.
Itu sebabnya, manusia tidak akan bisa hidup tanpa adanya manusia lain. Sehingga harmonisasi hubungan antara sesama makhluk perlu dijaga dan dipertahankan dengan tidak memilih “apakah dia berjenis biologis laki-laki atau perempuan”. Pemilihan terhadap salah satunya akan mengakibatkan ketimpangan dan mengganggu jalannya proses harmonisasi di dunia. Hal ini bisa berdampak pada ketidakseimbangan ekologi.
Kita tahu, Islam telah memberi “protect” agar tidak terjadi hal tersebut. Melalui al-Qur’an sudah diinformasikan bahwa, antara laki-laki dan perempuan adalah aktor dunia yang saling komplementer dan sejajar. Allah Swt, berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّـكُمْ وَاَنْـتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
Artinya: “Mereka (perempuan) adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka (perempuan),” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Prinsip Kesejajaran
Prinsip kesejajaran antara laki-laki dan perempuan telah diajarkan oleh Islam 14 abad yang lalu. Jauh sebelum kaum feminis dan pemerhati perempuan menuntut kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan sosial.
Nabi Muhammad Saw. telah memperlihatkan contoh terhadap umatnya bagaimana memperlakukan perempuan, bagaimana bergaul dalam rumah tangga, Siti Aisyah salah seorang istri Nabi menceritakan bahwa, Nabi sering mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sektor domestik yang sering kali dilengketkan oleh orang bahwa pekerjaan itu hanya cocok untuk perempuan.
Bukankah sejarah telah mencatat bahwa, kaum perempuan pada masa Nabi mendapat peluang serta kebebasan dalam bekerja selama dianggap layak dan mempunyai keahlian dalam bidang apa yang saja yang halal.
Kaum perempuan banyak yang terjun dalam berbagai bidang seperti Siti Khadijah istri Nabi yang dikenal sebagai seorang pengusaha, Zainab binti Jahzi berprofesi sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malhan menekuni bidang tata rias, Qillat Umm Bani Ammar dikenal sebagai wiraswasta yang sukses, Al-Syifa’ bekerja sebagai sekretaris dan pernah menjabat sebagai penanggung jawab pasar kota Madinah pada masa Umar Ibn al-Khattab.
Sementara itu, beberapa nama dalam bidang pendidikan dari kaum perempuan dikenal aktif sebagai pendidik seperti Aisyah, Sakina (Putri Husain Ibn Abi Thalib), Syuhra (salah seorang guru dari Imam Syafi’i), Syamiat al-Taimiyah, Zaina, Rabiah Al-Adawiah dan lainnya. Mereka ini, memberi pelayanan kepada masyarakat di bidang pendidikan. Bahkan mereka melayani pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh masyarakatnya.
Di samping itu, mereka juga mempunyai murid khusus yang secara rutin diberi materi pelajaran yang berkenaan dengan pengetahuan agama dan umum. Antara ilmu umum dan agama pada saat itu disatukan, karena memang belum dikenal dikotomi ilmu pengetahuan. Jadi, semua pengetahuan mengandung nuansa religius, meskipun mereka membincangkan masalah kesusastraan.
Yang tidak kalah menariknya, Islam telah memberi kebebasan kepada perempuan untuk terjun dalam bidang-bidang sosial. Maka, tidak mengherankan jika banyak perempuan yang tercatat dalam sejarah pernah terjun langsung dalam percaturan sosial. Mereka memiliki peran besar dalam dunia Islam. Diantaranya Siti Khadijah, salah seorang istri pertama Nabi yang telah berjuang bersama suaminya dalam mengokohkan pondasi-pondasi Islam.
Demikian juga Asma binti Abi Bakr, yang ikut serta dalam berbagai macam peperangan. Ia berhasil mendidik anaknya untuk mempunyai prinsip istiqamah dan berani mempertahankan kebenaran meskipun harus kehilangan nyawa.
Zarqa binti Adi’, mengajarkan kepada kaumnya untuk bersifat dermawan dan membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan. Bahkan, ia tidak segan-segan memberi bantuan moral dan moril kepada Ali bin Abi Thalib sewaktu terjadi peran Shiffin.
Tak terkecuali Rabiah Al-Adawiah, seorang sufi terkenal pada masanya dan sesudahnya. Ia memperoleh penghargaan yang tinggi dari masyarakat karena ajaran moralnya terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan.
Ia mengajarkan untuk selalu bertaubat dan bersabar serta menerima yang diberikan oleh Tuhan apa adanya, karena kesabaran akan mengalahkan penderitaan dan mampu membawa kepada terwujudnya manusia seutuhnya yang senantiasa cinta kepada Allah Swt.
Peran strategis perempuan sempat menurun dan perempuan lebih dikonsentrasikan pada sektor domestik, bisa jadi sekitar sesudah dibukukannya buku-buku fiqih. Akibat pemahaman sebagian umat yang memberi penafsiran agama mengalami bias gender. Namun demikian, suara-suara perjuangan perempuan kembali berkibar sekitar abad 19, 20 dan 21.
Semenjak dideklarasikannya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di Saneca Fall, maka sejak saat itu tuntutan kuat dari kaum perempuan untuk diberi kesempatan berperan aktif dalam dunia sosial menggema ke mana-mana.
Tidak ketinggalan perempuan-perempuan Islam menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan serta meminta, agar tafsiran-tafsiran agama yang berbias gender dan merugikan perempuan kembali ditelaah ulang, sekaligus melakukan review historis pada zaman Rasulullah untuk melihat kondisi perempuan pada zaman itu kemudian memberi interpretasi ajaran Qur’ani dan hadis Nabi.
Berkecimpung dalam Pendidikan
Beberapa deret nama perempuan didunia Islam, khususnya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan seperti Aisyah binti Abdirrahman yang lebih dikenal dengan nama Bintusysyati’, seorang professor pada universitas Ainussyams Kairo dan pengarang buku tafsir “Al-Bayaniy li al-Qur’an Al-Karim”.
Dengan demikian, jika ditinjau dalam konteks Indonesia, dikenal nama R.A. Kartini pejuang perempuan yang memperjuangkan hak-hak kaumnya terutama di bidang pendidikan agar kaum perempuan tidak berada dalam lingkaran kebodohan dan keterisoliran.
Perjuangan Kartini tidak sia-sia, ia berhasil mengetuk hati berbagai kalangan dalam strata masyarakat sehingga pintu hati kaum laki-laki terbuka untuk memberi peluang kepada perempuan berpartisipasi dalam pembangunan.
Terbukti, pemerintah menyediakan Menteri khusus yang menangani kaum perempuan, di berbagai Perguruan Tinggi dibuka pusat-pusat studi wanita yang didanai oleh lembaga Perguruan Tinggi, pemerintah pusat juga beberapa donatur dari luar negeri seperti Bank Dunia, AusAid, CIDA, the Asia Foundation dan lain-lain. Maka, tidaklah mengherankan jika banyak tempat-tempat strategis dalam bidang pemerintahan dan bidang swasta diduduki oleh kaum perempuan.
Sejatinya, pendidikan Islam menjadi pilar utama yang membingkai kaum perempuan dalam menentukan perannya kelak. Pendekatan moral sangat perlu diprioritaskan untuk melaksanakan fungsi dan peran perempuan dalam pembangunan bangsa, terutama terhadap generasi penerus agar ia tidak menjerumuskan kaum dan generasinya dalam lembah kebobrokan moral. Karena bagaimanapun, majunya suatu bangsa, jika moral generasinya bobrok juga akan membawa kepada kehancuran bangsa dan generasi.
Oleh karena itu, pendidikan Islam akan mengarahkan perempuan dalam membina kualitas pendidikan manusia sebagai penggerak kemajuan masyarakat dalam melakoni bidang-bidang sosial. Pendidikan moral perlu diberikan kepada kaum perempuan yang kelak menjadi tulang punggung dalam mengemban estafet pembangunan. Sebagai calon pendidik yang akan mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi berikutnya.
Sehingga, kesetaraan yang dituntut dalam bidang pendidikan tidak menjadikannya terjun sebebas-bebasnya tanpa ada pola yang mengikat mereka sebagaimana kaum perempuan di Barat, tempat dicetuskannya gender dan feminisme yang tidak mempola mereka dalam aturan aturan moral. Olehnya itu, kebebasan yang mereka jalani adalah bebas sebebasbebasnya dan agama sama sekali jadi penghalang dalam berbuat apa saja.
Peran perempuan dalam kehidupan real sebagai pendidik berlangsung diberbagai tingkat yaitu, di rumah ia sebagai ibu di sekolah sebagai guru, di Perguruan Tinggi sebagai dosen dan di masyarakat sebagai penyuluh atau anggota masyarakat.
Apapun yang dimiliki perempuan ia harus mengerti bahwa ia adalah seorang pendidik yang akan mengkader dan menghasilkan individu muslim, yang mampu melaksanakan peran dan tanggung jawabnya sebagai mandataris Allah di muka bumi individu-individu itu juga harus dilengkapi juga berbagai pengetahuan, demi berlangsungnya keterampilan merealisasikan peradaban yang berkualitas.
Kesetaraan gender dalam perspektif pendidikan Islam adalah pelibatan perempuan dalam semua aspek sosial yang memungkinkan untuk dilakoni oleh kaum perempuan dengan tetap mensinergikan harmon dalam perbedaan, karena perbedaan itu adalah sunnatullah. Tolong menolong dalam segala hal yang di dalamnya terdapat kebaikan untuk satu tujuan menjadi hamba Allah Swt. yang Akramakum dan atqakum.
Sementara itu tujuan dalam keragaman membentuk tatanan sosial dalam bingkai prinsip mawaddah wa rahmah. Sehingga tidak ada kelompok sosial yang tercederai karena perbedaan memahami kesetaraan gender, semua terakomodir dan mendapat porsinya masing-masing sesuai dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah Swt.
***
*) Oleh : Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |