TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Islam adalah agama ilmu. Ia adalah agama yang menempatkan orang-orang yang berilmu pada posisi dan kedudukan yang sangat terhormat. Pun, Islam adalah agama yang mendorong manusia untuk senantiasa bersikap dan berperilaku sesuai dengan ilmu. Lebih jauh dari itu, Islam mendorong kepada umatnya dan kepada manusia pada umumnya, untuk senantiasa bersikap ilmiah.
Di antara tuntunan al-Quran dalam hubungannya dengan sikap ilmiah, adalah usaha kita untuk senantiasa menjadi orang-orang yang kritis, manusia yang senantiasa melaksanakan sesuatu berdasarkan ilmu, bukan seseorang yang melaksanakan sesuatu berdasarkan nafsu, seseorang yang berbuat berdasarkan dasar-dasar ilmiah, dasar-dasar aqliyah, bukan semata-mata mengikuti tradisi atau apa yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Tidak hanya itu, dalam kaitan ini, Allah Swt. memerintahkan kepada kita untuk tidak menjadi orang yang hanya taklid atau mengikuti sesuatu tanpa dasar pengetahuan. Di dalam al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 36 dinyatakan:
وَلَا تَقْفُ مَا لَـيْسَ لَـكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗ اِنَّ السَّمْعَ وَا لْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 36).
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kita agar semua anugerah Allah yang diberikan, terutama anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan hati nurani semuanya kita manfaatkan dan fungsikan sebagai bagian dari “faculty of understanding” atau bagian dari upaya untuk kita senantiasa memahami sesuatu, sehingga kita tidak mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu.
Di ayat yang lain pada Surat An-Nahl ayat 43 Allah Swt. berfirman:
وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْۤ اِلَيْهِمْ فَسْــئَلُوْۤا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl [16]: 43).
Perintah agar kita bertanya kepada orang yang berilmu itu disebutkan antara lain di dalam juga disebutkan dalam Surat Al-Anbiya ayat ke 7. Allah Swt. berfirman:
وَمَاۤ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْۤ اِلَيْهِمْ فَسْــئَلُوْۤا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya [21]: 7).
Dengan perintah itu, kita semuanya diminta oleh al-Qur’an untuk menjadi manusia pembelajar. Dengan kata lain, kalau kita tidak mengerti maka bertanyalah kepada orang yang berilmu dan bertanyalah kepada orang yang mengerti.
Kemudian di dalam hadits Nabi disebutkan agar kita ini tidak menjadi orang yang menyampaikan sesuatu tanpa dasar ilmu. Al-Hafizh Ibnu Asakir meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda:
مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَـتْهُ مَلَائِكَةُ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ (رَوَاهُ ابْنُ عَسَاكِرَ)
Artinya: “Barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa ilmu, maka ia dilaknat oleh para malaikat di langit dan di bumi.” (H.R. Ibnu Asakir).
Ini juga diperkuat oleh Imam An-Nawawi yang menegaskan:
لَا يَـجُوْزُ اسْتِفْتَاءُ غَيْرِ الْعَالِمِ الثِّقَةِ (مُقَدِّمَةُ الْمَجْمُوْعِ)
Artinya: “Tidak boleh meminta fatwa kepada selain orang yang berilmu (ulama) dan terpercaya (tsiqah).”
Jika Surat Al-Anbiya ayat ke 7 memerintahkan kita untuk bersikap kritis dan bertanya kepada orang yang ahli, maka hadits Nabi ini mengingatkan kita untuk tidak menjadi orang yang menyampaikan sesuatu yang kita tidak tahu.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِـزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يـُبْقِ عَالِمًا اِتَّـخَذَ النَّاسُ رُؤَسَاءَ جُهَّالًا فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya begitu saja dari para hamba, melainkan Allah mengambil ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila Allah tidak menyisakan seorang ulama pun, maka orang-orang akan mengangkat orang-orang yang bodoh (tidak berilmu) sebagai pemimpin dan panutan mereka. Lalu mereka ditanya (tentang hukum agama), maka mereka menjawab tanpa dasar ilmu sehingga diri mereka sendiri tersesat dan mereka menyesatkan orang-orang selain mereka.” (H.R. Al-Bukhari).
Dengan demikian, jika pada akhirnya nanti orang-orang yang berilmu semakin langkah dan manusia tidak menemukan orang yang berilmu, maka pada akhirnya manusia mengangkat orang-orang yang bodoh sebagai pemimpin mereka, dan orang-orang yang bodoh itu dimintai fatwa-fatwa.
Akibatnya, banyak orang yang bertanya kepada orang yang bodoh itu mengenai banyak hal, dan orang yang tidak berilmu itu karena merasa “sok tahu”, kemudian memberikan fatwa bukan berdasarkan ilmu. Maka, dalam situasi ini, semuanya jatuh pada lobang kesesatan.
Syahdan. Sekarang, kita memang hidup dalam zaman teknologi. Orang-orang sering menyebutnya dengan zaman teknologi digital. Kita bisa mengakses informasi dari sumber-sumber yang sangat tidak terbatas. Akan tetapi, dampak dari teknologi itu adalah hilangnya daya kritis dan hilangnya nalar sehat.
Bukankah Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Expertis” atau “Matinya Kepakaran” mengatakan bahwa, situasi-situasi di mana orang yang menguasai dan memegang teknologi justru tidak tumbuh menjadi orang yang semakin berilmu, dan tidak berkembang menjadi masyarakat yang semakin arif dan bijaksana, akan tetapi kadang-kadang mereka berkembang menjadi masyarakat yang bodoh.
Dalam posisi dalam The Death of Expertis itu yang terjadi adalah persis seperti yang disabdakan oleh Nabi Saw. Misalnya, orang tidak memiliki ilmu tentang sesuatu ia memposting sesuatu, dan tidak mempertanggungjawabkan apa yang ia posting. Hingga akhirnya banyak orang yang men-download (yang juga tidak mencermati benar dan tidak isi dari postingan).
Bahkan, setelah download, ia menyebarkannya kepada orang lain sehingga kemudian banyak hal yang terjadi terkait dengan relasi-relasi sosial, persoalan-persoalan agama dan lainnya justru terjadi karena kita tidak mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan tidak mengikuti apa yang dituntunkan oleh Nabi Saw.
Karena itu, kita sebagai komunitas masyarakat ilmiah, umat khususnya, jangan mengikuti sesuatu yang kita tidak mengetahui ilmu mengenai sesuatu itu. Jadilah manusia pembelajar yang senantiasa menggunakan pendengarannya untuk mendengar kebenaran menggunakan matanya untuk melihat kebenaran, dan menggunakan hati nuraninya untuk menilai kebenaran. Inilah yang terpenting.
Namun demikian, jika kita menemukan suatu kebenaran, maka ikutilah sebagai bagian dari sikap hidup dan apa yang diperintahkan Tuhan. Akan tetapi, jika tidak mengerti, maka bertanyalah kepada kepada orang yang berilmu.
***
*) Oleh : Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |