https://probolinggo.times.co.id/
Kopi TIMES

Korupsi itu Budaya Siapa? Bentuk dan Implikasinya bagi Kehidupan Bernegara

Selasa, 10 Mei 2022 - 14:07
Korupsi itu Budaya Siapa? Bentuk dan Implikasinya bagi Kehidupan Bernegara Isna Arofah, Mahasiswi Universitas Islam Jember.

TIMES PROBOLINGGO, JEMBER – Korupsi merupakan bagian dari perilaku yang menggurita di tengah kehidupan bernegara di Indonesia. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin - corruptio, bahasa Inggris - corruption atau corrupt, bahasa Perancis - corruption dan dalam bahasa Belanda disebut dengan coruptie. Agaknya, kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia menjadi korupsi yang berarti busuk, buruk; suka menerima uang sogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi dimaknai sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya, untuk kepentinga pribadi atau orang lain. Dalam perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia, korupsi menjadi kasus yang tidak pernah absen setiap tahunnya dan menjadi mandat mulia bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengentaskannya dengan gigih.

Indeks Kasus Korupsi di Indonesia

Pada Selasa (26/4/2022) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Bogor (Ade Yasin) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di wilayah Jawa Barat, yang selanjutnya ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap Pengurusan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021. Dalam penangkapan itu, Bupati Bogor tersebut diamankan bersama 11 orang lainnya sebagai tindak lanjut dari laporan masyarakat terkait dugaan adanya pemberian uang dari Ade Yasin melalui orang kepercayaannya kepada anggota tim audit BPR Perwakilan Jawa Barat. Adanya kasus korupsi Bupati Bogor ini menambah deretan kasus Korupsi yang terjadi di Indonesia.

Sebelumnya, KPK sempat menghebohkan publik dengan menangkap Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari bersama suaminya Hasan Aminuddin yang merupakan mantan Bupati Probolinggo dan sedang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR Fraksi Nasdem dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Senin (30/8/2021). Kemudian, keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan Gratifikasi dan tindak pencucian uang (TPUU) dan sebelumnya telah menjadi tersangka dugaan suap terkait seleksi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo tahun 2021. Bersama dengan mereka, KPK juga menangkap Camat Kranjengaan (Doddy Kurniawan), Kepala Desa Karangen (Sumarto), Camat Kraksaan (Ponirin), Camat Banyuanyar (Imam Syafi’i), Camat Paiton (Muhammad Ridwan), Camat Gading (Harry Tjahjono), serta dua orang ajudan bernama Pitra Jaya Kusuma dan Faisal Rahman.

Sedangkan ditahun 2020, Mantan Menteri Sosial RI (Juliari Batubara) ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan social penanganan pandemic covid-19 untuk wilayah Jabodetabek pada tahun 2020. Penetapan tersebut menjadi tindak lanjut dari penangkapan yang dilakukan KPK pada jum’at (5/12/2020). Selain mantan Menteri Sosial, KPK juga menangkap dan menetapkan tersangka lainnya yang merupakan dua mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Sosial Mathieus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai tersangka dalam kasus serupa.

Adapun catatan lainnya terkait perilaku korupsi yang dilakukan oleh pejabat public, antaranya: Suap yang dilakukan oleh Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (Edhy Prabowo) terhadap pengurusan Ekspor benih lobster tahun 2020 yang diduga menerima suap sejumlah 25,7M. Kasus lainnya, suap dan gratifikasi pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur oleh Nurdin Abdullah (Gubernur nonaktif Sumatra Selatan).

Selain itu, ada pula kasus korupsi Bupati nonaktif Banggal Laut (Wenny Bukamo) yang melakukan suap untuk keperluan politik uang di pilkada 2020, Juarsah (Bupati nonaktif Muara Enim) dengan kasus suap proyek pembangunan jalan, Bupati nonaktif Bandung Barat (Aa Umbara Sutisna) yang melakukan korupsi pengadaan barang tanggap darurat pandemic covid-19, dan Ismunandar (Bupati nonaktif Kutai Timur) dengan suap proyek infrastruktur, serta Wali Kota nonaktif Cimahi (Ajay Muhammad Priatna) yang melakukan suap izin pembangunan rumah sakit. 

Beberapa kasus korupsi yang disebut diatas merupakan gambaran kecil perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia dalam 3 tahun terakhir. Sedangkan, dalam gambaran yang lebih luas dapat dilihat melalui hasil Laporan Tren Penindakan Korupsi semester 1 2021 yang dirilis oleh Lembaga swadaya masyarakat anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mendapati bahwa angka korupsi Indonesia pada tahun 2021 mencapai 209 kasus, angka tersebut naik dibanding periode sebelumnya sebesar 169 kasus. Sedangkan, di tahun 2019 sebanyak 122 kasus, 2018  sejumlah 139 kasus dan 266 kasus ditahun 2017.

Klasifikasi Korupsi di Negara Indonesia 

Berdasarkan laporan tersebut, disadari atau tidak korupsi sudah menjadi budaya dalam tata kelola pemerintahan di tengah-tengah kehidupan bernegara dan masyarakat. Adapun bentuk-bentuk perbuatan korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1.    Merugikan Keuangan Negara sebagaimana Pasal 2 yang diperuntukan bagi orang biasa serta Pasal 3 yang ditujukan untuk pejabat publik. Jenis korupsi ini merupakan jenis korupsi yang paling sering digunakan oleh penegak hukum untuk menjerat koruptor dan sering mengalami hambatan dalam proses peradilan karena harus menunggu penghitungan terlebih dahulu dari BPK atau BPKP.

2.    Suap menyuap yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, serta Pasal 13.

3.    Penggelapan dalam Jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, dan Pasal 10 huruf c. 

4.    Pemerasaan yang tertuang dalam Pasal 12 huruf e,  Pasal 12 huruf g, serta Pasal 12 huruf h.

5.    Perbuatan curang sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h. 

6.    Benturan Kepentingan dalam Pengadaan yang diatur dalam Pasal 12 huruf i.

7.    Gratifikasi sebagaimana Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 12B ayat (2), Pasal 12C ayat (1), (2), (3), dan ayat (4).

Sedangkan dalam survei Indonesia Corruption Watch (ICW) yang merilis tentang Modus Korupsi ditahun 2020 dan Nilai Kerugiannya mengungkapkan; Suap sebanyak 6 kasus dengan kerugian 1,1 M, satu kasus anggaran ganda  dengan kerugian 1,5 M, Penyalahgunaan anggaran sejumlah 8 kasus dengan kerugian 2,6 M, 6 kasus pemotongankerugian 8,5 M, 2 kasus gratifikasi dengan rugi 19,1 M, pungli sebanyak 12 kasus dengan kerugian 44,6 M, 14 kasus laporan fiktif dengan angka kerugian 48,4 M, 9 kasus penyalahgunaan wewenang dengan rugi – 78,6 M, penggelapan sebanyak 47 kasus dengan kerugian 233,7 M, proyrk fiktif sebanyak 26 kasus dengan rugi – 376,1 M, Mark Up sejumlah 33 kasus dengan kerugian 509 M, dan 4 kasus manipulasi saham dengan jumlah kerugian sebanyak 16,9 Triliun.   

Dampak Korupsi bagi Kehidupan Masyarakat

Jelas, perbuatan korupsi yang dilakukan dengan bentuk atau modus apapun menyebabkan kerugian bagi keuangan Negara. Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa kerugian Negara akibat korupsi pada Semester I tahun 2021 mencapai 26,83 Triliun. Angka tersebut naik dibanding kerugian Negara akibat korupsi pada Semester I tahun 2020 sebesar 18,173 Triliun, tahun 2019 sebesar 6,925 Triliun, 1,079 Triliun pada tahun 2018, dan tahun 2017 sebesar 1,8 triliun. Kerugian keuangan bagi Negara tersebut sangat berdampak pada sistem tata kelola Negara dalam berbagai aspek sehingga memang sudah sepatutnya perbuatan korupsi tidak lagi dilanggenggkan. 

Selain itu, adanya praktik korupsi yang meluas dalam dunia politik dapat menyebabkan rusaknya demokrasi, demi mempertahankan kekuasaan. Selanjutnya, para politisi yang korup itu akan menggunakan kekuasaannya dengan otoriter, bahkan menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat. Di samping itu, keadaan yang demikian akan memicu terjadinya instabilitas sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat.

Tidak hanya itu, sebuah kekuasaan dalam politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak lagi legitimate di mata publik sehingga hal itu mengakibatkan turunnya kepercayaan publik (masyarakat) terhadap pemerintah dan pemimpin dan dapat membuat masyarakat tidak patuh serta tunduk pada otoritas Pemerintah dan Pemimpin yang dimaksud. 

Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan berkualitas tidak akan pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap. Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.

Selanjutnya, sebagaimana yang telah disebutkan diatas korupsi dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kehidupan social, utamanya keadilan dan kesetaraan sosial. Salah satunya, menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain. Hal ini sebagaimana penelitian oleh Gupta, Davoodi dan Alonso di 37 negara Tahun 1998 dalam artikel Corruption in Empirical Research: A Review, Transparency International Working Paper yang mendapati bahwa korupsi berdampak secara signifikan terhadap ketidaksetaraan sosial, baik dalam hal pendidikan, distribusi pertanahan dan pendapatan. 

Selain itu, korupsi dapat menyebkan setiap individu dalam kehidupan ber-masyarakat berkencenderungan untuk mementingkan dirinya sendiri (self interest), bahkan selfishness (keegoisan). Sehingga, tidak lagi ada kerja sama dan hubungan persaudaraan yang tulus serta berbahaya terhadap standar moral dan intelektualitas masyarakat. Dalam artikel Corruption, Development and Underdevelopment, Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism. Oleh karenanya, korupsi berpotensi menyebabkan sikap individual untuk  menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya berkencenderungan untuk semata-mata berpikir tentang dirinya sendiri. 

Tidak hanya itu, salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya generasi muda. Pada realita social masyarakat dengan keadaan korupsi yang seolah menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari, akan berdampak pada pertumbuhan anak dengan kepribadian yang antisosial dan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan budaya), sehingga dalam perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Apabila generasi muda suatu bangsa memiliki keadaan yang seperti itu, maka dapat diprediksi bagaimana suramnya masa depan bangsa tersebut.

Disadari atau tidak korupsi telah menjadi budaya dalam tata kelola pemerintahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat dalam bernegara di Indonesia. Secara singkat, budaya korupsi tersebut dapat menghancurkan peradaban suatu bangsa, menghancurkan sistem perekonomian dan yang lebih parah lagi akan menghancurkan mentalitas suatu bangsa terutama kepada para generasi mudanya. Sehingga untuk mengikis budaya korupsi tersebut diperlukan upaya yang sangat besar dengan kesungguhan yang ekstra.

Selain mendukung berbagai cara yang dilakukan KPK untuk memberentasnya, upaya yang bisa dilakukan dimulai dari hal-hal yang kecil yang dapat memberikan dampak yang luar biasa, seperti mengajarkan kepada anak-anak, keluarga-keluarga, pun sahabat-sahaba kita tentang nilai-nilai moral yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, karena kejujuran akan menjadi modal pembangunan suatu bangsa menjadi bangsa yang besar, maju dan beradab.

***

*) Oleh: Isna Arofah, Mahasiswi Universitas Islam Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Probolinggo just now

Welcome to TIMES Probolinggo

TIMES Probolinggo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.