TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – KH Hasyim Mino dikenal sebagai pendiri Ponpes Nurul Qodim, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Konon, jauh sebelum menjadi kiai dan mendirikan pesantren, KH Hasyim Mino telah dijuluki kiai oleh teman-temannya di Ponpes Zainul Hasan Genggong, Kabupaten Probolinggo. Ia dijuluki Kiai Sarung.
Kisah itu disampaikan KH Sibaweh, dalam acara Haul Akbar ke-38 KH Hasyim Mino di Ponpes Nurul Qodim, Desa Kalikajar Kulon, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Kamis (15/5/2025).
“Kiai Mino dijuluki Kiai Sarung oleh para santri karena kalau kerja biasa pakai sarung,” kata figur yang pernah menjadi santri Kiai Mino tersebut.
Kiai Sibaweh menyebutkan, KH Hasyim Mino hanya sekitar empat tahun mondok di Ponpes Zainul Hasan Genggong. Selain mengaji, Kiai Mino berkhidmah kepada KH Hasan Sepuh Genggong dengan menjadi khadam (pembantu).
Diceritakan, selain Kiai Mino, KH Husnan Bondowoso, dan KH Moh Isa Idris Tomangan (Gading, Kabupaten Probolinggo) yang juga jadi khadam. Tiga serangkai itu punya julukan masing-masing.
Jika Kiai Hasyim Mino dijuluki Kiai Sarung, Kiai Husnan dijuluki Kiai Udeng. Hal itu merujuk pada kebiasaannya memakai udeng saat bekerja. Adapun Kiai Moh Isa Idris Tomangan, dijuluki Kiai Selebber (celana pendek).
Khidmah KH Hasyim Mino kepada Guru
Kiai Sibaweh bercerita, meski hanya menjadi santri selama empat tahun, Kiai Hasyim Mino menjadi orang hebat karena ilmu dan khidmah (mengabdi) kepada guru. Selama di Ponpes Zainul Hasan Genggong, ia tak pernah mengatakan boten (tidak) ketika diminta guru.
“Meskipun sebenarnya beliau tidak bisa,” ujar Kiai Sibaweh.
Suatu saat, KH Hasan Sepuh Genggong meminta Hasyim (nama Kiai Mino) untuk mencari tukang tebang pohon. Tukang tebang pohon tersebut akan disuruh menebang pohon mangga di area pesantren yang mulai doyong.
Bukannya mencari tukang tebang pohon, Kiai Hasyim Mino menebang sendiri pohon mangga yang dimaksud gurunya. “Biar gurunya tidak perlu memberi upah,” kata Kiai Sibaweh.
Tak hanya menebang, batang, cabang, dan ranting dari pohon mangga yang ditebang, oleh Kiai Mino dipotong kecil-kecil agar bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Semua itu dipasok ke dapur kiai.
Bagian akar pun dibersihkan, hingga seolah-olah tak pernah ada pohon tumbuh di area tersebut. “Kiai Hasan Sepuh Genggong sampai heran, kemudian memegang pundak Kiai Mino.
Saat memegang pundak Kiai Mino, KH Hasan Sepuh Genggong berujar dalam Bahasa Madura: Derejet dikah, No (Mino). Dalam Bahasa Indonesia, ungkapan itu berarti kabar bahwa Kiai Mino akan punya derajat tinggi.
Pingsan Usai Tabuh Bedug Masjid
Suatu sore pada Bulan Ramadan, Kiai Mino diminta berjaga di sekitar Bedug Masjid Al-Barokah, Ponpes Zainul Hasan Genggong. Kiai Hasan Sepuh Genggong meminta khadamnya tersebut segera menabuh bedug begitu maghrib tiba.
Tapi sebelum maghrib tiba, Kiai Mino menabuh bedug. Yang lalu ditegur Kiai Hasan Sepuh Genggong. “Gik korang semenit, No (Maghrib masih kurang semenit, Mino).”
Konon, gegara teguran gurunya tersebut, Kiai Mino sampai pingsan. “Saking takutnya kepada guru,” ujar Kiai Sibaweh, menceritakan kisah gurunya semasa di Ponpes Zainul Hasan Genggong.
Pengabdian Kiai Mino kepada masyayikh Ponpes Zainul Hasan Genggong tak hanya berlangsung di pesantren. Saat sudah berkeluarga dan tinggal di Kalikajar, Kiai Mino rutin Salat Jumat ke Genggong dengan berjalan kaki bersama sang istri.
Rutinitas itu dijalani selama 8 tahun. Kemudian, ketika ia mulai didatangi banyak santri, rutinitas Salat Jumat di Genggong dilakukan dengan cara bergantian dengan istrinya. Kadang Kiai Mino yang berangkat, kadang istrinya yang berangkat.
Kepada para santri di Ponpes Nurul Qodim, Kiai Mino kerap bercerita perihal pentingnya hormat dan mengabdi kepada guru. Jangankan pada keluarga, hewan peliharaan guru juga dihormati.
“Benni hormat ka koceng, tape kocenga guru (bukan hormat kepada kucing. Tapi itu kucingnya guru),” kata Kiai Sibaweh menirukan cerita gurunya.
“Santre kona (lawas) pasti tahu cerita ini,” tambahnya perihal kisah-kisah keteladanan dari KH Hasyim Mino. (*)
Pewarta | : Muhammad Iqbal |
Editor | : Muhammad Iqbal |