TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Pesantren selama ini dikenal sebagai ruang sunyi yang melahirkan ketenangan berpikir dan kejernihan sikap. Di sanalah tradisi keilmuan dirawat, adab dijaga, dan konflik diselesaikan dengan kesabaran. Namun belakangan, kegaduhan yang terjadi di level elite organisasi justru memantul hingga ke ruang-ruang pesantren. Konflik internal PBNU, apa pun bentuk dan kepentingannya, perlahan mengusik psikologi publik pesantren yang selama ini menjaga jarak dari hiruk-pikuk politik kekuasaan.
Bagi pesantren, NU bukan sekadar organisasi. Ia adalah rumah nilai, sanad keilmuan, dan identitas kultural. Ketika rumah itu riuh oleh pertikaian, yang terguncang bukan hanya struktur organisasi, tetapi juga rasa memiliki warga pesantren. Banyak santri dan kiai di daerah tidak sibuk memperdebatkan posisi dan jabatan, tetapi mulai bertanya: ke mana arah khidmah NU sebenarnya?
Pesantren memandang konflik bukan sebagai sesuatu yang tabu, tetapi harus dikelola dengan adab. Perbedaan pendapat adalah keniscayaan dalam tradisi keilmuan. Namun ketika konflik berubah menjadi saling delegitimasi, pertarungan wacana di ruang publik, dan tarik-menarik kepentingan politik, pesantren merasa ada jarak yang kian melebar antara nilai dan praktik.
Kegaduhan di tingkat pusat sering kali tidak berdampak langsung pada aktivitas struktural pesantren. Kitab tetap dikaji, santri tetap mengaji, dan tradisi tetap berjalan. Namun dampak simboliknya sangat besar. NU yang selama ini dijadikan rujukan moral justru tampil sebagai arena konflik yang terbuka dan kasar. Ini bukan soal siapa benar atau salah, tetapi soal wajah organisasi di mata generasi muda pesantren.
Santri hari ini hidup di era keterbukaan informasi. Konflik elite tidak lagi berhenti di ruang tertutup, tetapi menyebar cepat melalui media sosial. Narasi yang muncul sering kali dipotong, dipelintir, dan dibingkai sesuai kepentingan. Pesantren yang terbiasa dengan proses tabayyun dan kehati-hatian kini dihadapkan pada arus informasi yang bising dan emosional.
Di sinilah publik pesantren merasakan kegelisahan. NU yang diwariskan oleh para pendiri dibangun dengan kesabaran, keteladanan, dan keikhlasan. Konflik yang terlalu terbuka berpotensi mereduksi nilai-nilai itu. Ketika organisasi lebih sering tampil dengan polemik ketimbang gagasan, pesantren khawatir NU kehilangan fungsi utamanya sebagai penyangga keumatan dan kebangsaan.
Lebih jauh, konflik PBNU juga berpotensi menggeser orientasi khidmah. Energi yang seharusnya digunakan untuk memperkuat pendidikan, ekonomi umat, dan dakwah kultural tersedot ke dalam pertarungan internal.
Bagi pesantren di daerah, persoalan mendesak bukan konflik struktural, melainkan ketimpangan pendidikan, kemiskinan santri, dan tantangan sosial yang nyata.
Pesantren tidak anti-kritik dan tidak alergi terhadap perubahan. Namun perubahan harus berpijak pada nilai. Tradisi pesantren mengajarkan bahwa kekuasaan hanyalah alat, bukan tujuan.
Ketika alat itu diperebutkan secara berlebihan, maka tujuan luhur berisiko terlupakan. Inilah yang membuat publik pesantren cenderung mengambil sikap diam—bukan karena tidak peduli, tetapi karena kecewa.
Sikap diam pesantren sering disalahpahami sebagai ketidakberpihakan. Padahal, itu adalah bentuk kritik paling halus. Pesantren memilih tetap bekerja di akar rumput, menjaga umat, dan merawat tradisi, sambil berharap kegaduhan di pusat segera berakhir. Pesantren percaya bahwa organisasi besar tidak bisa diselamatkan dengan teriakan, tetapi dengan keteladanan.
Jika konflik ini terus dibiarkan tanpa penyelesaian bermartabat, dampak jangka panjangnya bisa serius. Kepercayaan publik, terutama generasi muda pesantren, dapat terkikis. Mereka bisa tumbuh dengan jarak emosional terhadap organisasi yang seharusnya menjadi rumah besar. Ketika kepercayaan hilang, regenerasi nilai menjadi taruhannya.
NU lahir dari pesantren, tumbuh bersama pesantren, dan besar karena pesantren. Maka, suara pesantren seharusnya menjadi kompas moral dalam setiap konflik. Bukan suara yang gaduh, tetapi suara yang meneduhkan. Bukan kepentingan jangka pendek, tetapi visi jangka panjang.
Publik pesantren tidak menuntut kesempurnaan. Mereka hanya berharap konflik diselesaikan dengan adab, musyawarah, dan kebesaran jiwa. Sebab bagi pesantren, menjaga marwah organisasi jauh lebih penting daripada memenangkan pertarungan.
Ketika rumah besar NU kembali tenang, pesantren akan kembali merasa utuh. Namun selama kegaduhan dibiarkan, pesantren akan terus bertanya dalam diam: apakah nilai masih menjadi panglima, ataukah kekuasaan telah mengambil alih arah perjuangan? Dan dari ruang-ruang sunyi pesantren itulah, sesungguhnya, masa depan NU sedang diuji.
***
*) Oleh : Abdur Rahmad, Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |