https://probolinggo.times.co.id/
Opini

Menguji Kemursyidan Habib Lutfi bin Yahya dalam Konflik Jatman

Kamis, 01 Mei 2025 - 12:18
Menguji Kemursyidan Habib Lutfi bin Yahya dalam Konflik Jatman Dr. M. Ramly Syahir Lc, M.Si., Wakil Mudir Idaroh Syu’biyah Jatman Kota Kraksaan Probolinggo

TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Dalam minggu terakhir ini, gonjang-ganjing kemunculan Jam’iyah Ahlith Thariqoh Al-mu’tabarah Ahlus sunnah wal jama’ah (Jatma Aswaja) bentukan Habib Lutfi bin Yahya (HLBY) bersama Helmy Faisal Zaini pada Jum’at (18/4/2025) makin ramai di sosial media. 

Jatma Aswaja berdiri akibat kekecewaan HLBY setelah dilengserkan pada kongres ke-XIII Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdhiyah (Jatman) di Boyolali pada (21/12/2024). Banyak cibiran bahkan hujatan dialamatkan kepada HLBY yang sudah tidak proporsional lagi. 

Para pengurus Jatman pusat (idarah Aliyah) menyayangkan sikap HLBY yang dianggap tidak legowo menerima hasil Kongres Boyolali yang menurut mereka, HLBY seolah membenturkan pengamal tarekat yang sebagian pengurusnya adalah mantan pengurus Jatman di era kepemimpinannya. 

Dalam catatan kepemimpinan HLBY di Jatman, ia boleh dibilang menjadi pengurus terlama mengawal salah satu badan otonom NU yaitu dimulai saat muktamar Jatman ke-IX tahun 2000 di Pekalongan. 

Pada perhelatan empat kali muktamar pun, ketokohan HLBY nyaris tidak tergoyahkan dan tidak tergantikan. Namun siapa sangka, kepemimpinannya harus berakhir di tahun 2023 atas pertimbangan kaderisasi yang diinginkan oleh pengurus Jatman yang lain. 

Sayangnya, HLBY tidak menerima keinginan mayoritas kader Jatman dan lebih memilih melakukan perlawanan. Eskalasi konflik antara HLBY dan kader Jatman makin meruncing yang mengharuskan pengurus Besar Nahdhatul Ulama’ (PBNU) turun tangan. 

Mediasi tidak membuahkan hasil, di mana kubu HLBY keukeh untuk tetap memimpin Jatman. Akhir cerita dari konflik, HLBY dengan lantang membuat organisasi Jatma Aswaja sebagai tandingan Jatman yang didukung oleh SK Kemenkum HAM.

Konflik yang terjadi di tubuh pengamal tarekat di Indonesia, bukanlah merupakan hal yang baru. Konflik di tubuh Jatman pertama kali terjadi saat di mana Kyai Musta’in Ramli dari pesantren Peterongan Jombang saat memimpin Jatman berkampanye untuk partai Golongan Karya (Golkar) di tahun 1977 yang tentunya melawan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didukung NU. 

Klimaks dari konflik antara Kyai Musta’in adalah dengan didirikannya organisasi jam’iyah Ahli Thariqah dengan menambahkan kata An-nahdhiyah pada muktamar NU tahun 1979 di Semarang. 

Itu Artinya bahwa PBNU hanya mengakui Organisasi pengamal Toriqhoh yang digawangi oleh Muhamad Baidawi dan menolak Jam’iyah ahli Thariqoh yang dipimpin oleh kyai Musta’in. Benar saja, organisasi pengamal thoriqah pimpinan kyai Musta’in ditinggalkan oleh warga NU. 

Keengganan HLBY untuk menyerahkan Jatman, tidak terlepas dari ketokohan dan popularitasnya yang diakui atau tidak sebenarnya  merupakan berkah dari Jatman. Realitas tersebut boleh jadi karena begitu lamanya HLBY memimpin Jatman yaitu selama 23 tahun. 

Selama memimpin Jatman, HLBY lebih membawa Jatman ke arena politik dan menjalin harmonisasi dengan penguasa. Kegiatan Jatman pusat selalu berkolaborasi dengan pihak Pemerintah  yang dikemas dalam isu-isu ekonomi global dan pertahanan geopolitik yang terkait dengan kekuasaan. 

Publik masih ingat hubungan kedekatan HLBY dengan penguasa, saat Ia ditunjuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (wantimpres) di era presiden Jokowi dan pernah menjadi anggota tim kampanye Prabowo Subiyanto (PS) pada pilpres 2024 lalu. 

Itu artinya bahwa HLBY memiliki double power sekaligus, yaitu kekuatan sebagai mursyid (guru tarekat) di tengah warga NU dan kekuatan bargaining di pusaran kekuasaan.

Kehadiran Jatma Aswaja bentukan HLBY sebenarnya menjadi alat uji kemursyidannya di tengah para pengamal tarekat. Tentang idealisasi sosok mursyid, Syeikh Muhamad bin Hasan Wadi Ar-Rifa’i dalam kitabnya Al-Qawa’idul Mar’iyah Fii Ushulith Thariqathi Ar-Rifa’iyah menyebutkan bahwa salah satu etika al-mursyid al-kamil (pembimbing spiritual sejati) adalah menghindarkan diri dari perlawanan (konflik), berbangga diri, sombong dan merasa lebih tinggi (at-taraffu’) dari orang lain (DKI : hal 104). 

Kata perlawanan di sini konotasinya bisa berupa adanya kekecewaan dari apa yang ia rasakan lalu menggugat ataupun melawan kepada pihak lain yang menjadi seterunya.

Dalam kasus dibentuknya Jatma Aswaja, terlihat jelas bagaimana  HLBY melakukan perlawanan terhadap kepengurusan Jatman Pusat maupun PBNU sebagai induk Jatman yang sejatinya HLBY diharapkan lebih memilih menunjukkan sifat-sifat kemursyidan yang sempurna, dari pada menjadi pecundang. 

Polanya adalah dengan lebih mengedepankan nasib ribuan pengamal tarekat di atas kepentingan pribadinya. Mengapa demikian? Karena figur HLBY akan dijadikan contoh bagi pengurus banom NU yang lain. Artinya, Jika ia bersikukuh mempertahankan posisinya, tentu akan memberikan pendidikan (tarbiyah) yang tidak mendidk. 

Trend yang kemudian akan ditiru  adalah mempertahankan jabatan sekuat tenaga, dan jika dilengserkan harus membuat organisasi tandingan, tanpa memikirkan nasib ribuan pengikutnya. Dan cara ini sungguh tidak produktif. 

Tentu kita berharap, jikapun keberadaan Jatma Aswaja sudah terlanjur dibentuk, semoga saja hanya sebatas warning dan nasehat yang tidak lazim yang dilakukan oleh HLBY kepada para petinggi Jatman maupun PBNU yang setelah konflik selesai akan bersatu kembali. 

Dalam kondisi yang demikian, Martin Van Bruinessen dalam bukunya “NU, Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru” (LKis-1994) mengingatkan bahwa apapun organisasi yang berafiliasi kepada NU akan selalu eksis, dan sebaliknya organisasi yang tidak berafiliasi kepada NU akan ditinggalkan. 

Dan semoga saja apa yang dikatakan oleh Martin ini akan menjadi perhatian bagi kepengurusan Jatma Aswaja yang baru untuk tidak terlalu percaya diri mendirikan organisasi yang tidak berafiliasi kepada NU bahkan melawan keputusan yang telah dibuat oleh PBNU.   

Saya termasuk orang yang percaya kalau apa yang dilakukan oleh HLBY ini untuk menunjukkan dirinya sebagai sosok al-mursyid al-kamil bagi pengamal tarekat.  

Saya dan mungkin kader Jatman yang lain lebih khawatir jika konflik Jatman-Jatma Aswaja malah dimanfaatkan oleh Pemerintah sebagai cara untuk melakukan politik devide at impera (politik belah bambu) dengan menggunakan kekuatan HLBY untuk mengacak-acak PBNU dan nahdhiyyin untuk kepentingan 2029. 

***

*) Oleh : Dr. M. Ramly Syahir Lc, M.Si., Wakil Mudir Idaroh Syu’biyah Jatman Kota Kraksaan Probolinggo. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Probolinggo just now

Welcome to TIMES Probolinggo

TIMES Probolinggo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.