TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – “Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna, tapi berpikir tanpa belajar itu berbahaya,” Soekarno. Kalimat Bung Karno ini terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan daya ledak intelektual yang luar biasa.
Ia bukan sekadar petuah pendidikan, melainkan peringatan peradaban. Sebuah kompas moral bagi bangsa yang ingin maju tanpa kehilangan arah, dan bagi manusia yang ingin cerdas tanpa terjerumus dalam kesombongan pengetahuan.
Di satu sisi, Bung Karno menegur praktik belajar yang hampa. Belajar yang hanya menghafal, menumpuk informasi seperti gudang yang penuh barang tak terpakai. Pengetahuan dikoleksi, tetapi tidak diolah. Ijazah diraih, gelar disematkan, namun nalar tetap tumpul. Inilah belajar tanpa berpikir aktivitas akademik yang miskin makna, ritual intelektual tanpa ruh.
Di sisi lain, Bung Karno juga mengingatkan bahaya yang lebih besar: berpikir tanpa belajar. Inilah kondisi ketika seseorang merasa cukup dengan opini, intuisi, atau keyakinan pribadi, tanpa fondasi ilmu dan pengalaman yang memadai. Pikiran berjalan liar tanpa peta. Keyakinan tumbuh tanpa verifikasi. Dan yang paling berbahaya, kesimpulan diambil tanpa kerendahan hati untuk diuji.
Dalam konteks hari ini, peringatan Bung Karno terasa semakin relevan. Kita hidup di zaman ketika informasi melimpah, tetapi kebijaksanaan justru langka. Media sosial melahirkan jutaan “pemikir instan” yang gemar berpendapat sebelum memahami, gemar menyimpulkan sebelum belajar. Opini diketik lebih cepat daripada proses membaca. Emosi lebih dulu bicara sebelum nalar diberi kesempatan bekerja.
Belajar tanpa berpikir melahirkan generasi yang patuh tetapi rapuh. Mereka tahu apa yang harus dijawab, tetapi tidak tahu mengapa jawaban itu benar. Mereka hafal teori, tetapi gagap menghadapi realitas.
Sebaliknya, berpikir tanpa belajar melahirkan generasi yang lantang tetapi berbahaya penuh keyakinan, miskin dasar. Di tangan mereka, kebodohan bisa tampil percaya diri, bahkan memikat massa.
Bung Karno memahami betul bahwa bangsa besar tidak dibangun oleh manusia yang sekadar pintar, tetapi oleh manusia yang berpikir. Berpikir bukan sekadar aktivitas otak, melainkan kerja kesadaran. Berpikir berarti menguji, meragukan, membandingkan, dan menimbang. Tetapi berpikir yang sehat hanya mungkin tumbuh dari tanah subur bernama belajar.
Belajar adalah proses merendahkan diri di hadapan pengetahuan. Ia mengajarkan bahwa dunia lebih luas daripada pengalaman pribadi, bahwa kebenaran tidak tunggal, dan bahwa setiap pendapat layak diuji. Tanpa belajar, berpikir berubah menjadi spekulasi. Tanpa berpikir, belajar menjelma menjadi dogma.
Dalam dunia pendidikan, kutipan Bung Karno ini seharusnya menjadi cermin besar. Sekolah dan kampus kerap terjebak pada rutinitas pengajaran yang mengejar angka, peringkat, dan akreditasi. Siswa dipacu menghafal, mahasiswa diburu target kelulusan, dosen terjebak administrasi. Proses berpikir kritis sering kali terpinggirkan. Padahal, pendidikan sejatinya bukan pabrik ijazah, melainkan ruang pembebasan akal dan nurani.
Namun Bung Karno tidak hanya berbicara untuk ruang kelas. Pesannya juga relevan bagi ruang publik dan kehidupan berbangsa. Banyak kebijakan lahir dari cara berpikir yang tidak ditopang pembelajaran sejarah. Banyak konflik sosial muncul karena opini dibiarkan melampaui pengetahuan. Banyak keputusan penting diambil dengan keberanian yang tidak disertai kebijaksanaan.
Berpikir tanpa belajar itu berbahaya karena ia mudah berubah menjadi kesombongan intelektual. Seseorang merasa paling benar, paling tahu, dan paling layak menghakimi. Dalam skala kecil, ini melahirkan konflik sosial. Dalam skala besar, ia bisa melahirkan kebijakan yang mencederai rakyat. Sejarah mencatat, banyak tragedi kemanusiaan lahir bukan karena kurangnya kecerdasan, tetapi karena kecerdasan yang tidak disertai kerendahan hati untuk belajar.
Belajar tanpa berpikir pun tak kalah berbahaya dalam jangka panjang. Ia melahirkan manusia-manusia patuh yang mudah diarahkan, tetapi kehilangan daya kritis. Mereka menjadi penonton dalam kehidupan demokrasi, bukan partisipan aktif. Mereka mudah menerima narasi, tetapi sulit membantah ketidakadilan.
Bung Karno mengajarkan keseimbangan. Belajar dan berpikir bukan dua hal yang dipertentangkan, melainkan dua sayap yang harus mengepak bersama. Tanpa salah satunya, manusia tidak akan terbang menuju kemajuan, hanya berjalan tertatih di tempat yang sama.
Di tengah derasnya arus informasi dan kegaduhan opini, pesan Bung Karno adalah ajakan untuk berhenti sejenak, membaca lebih dalam, berpikir lebih jernih. Belajar agar pikiran memiliki pijakan. Berpikir agar belajar memiliki arah.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling banyak berbicara, tetapi bangsa yang paling sungguh-sungguh belajar dan berpikir demi masa depannya.
***
*) Oleh : Yusuf Ahsan, S.H., Lulusan Ilmu Hukum dan Ketua Angkatan Muda Ka'bah Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |