https://probolinggo.times.co.id/
Opini

Badai Integritas dan Krisis Reputasi PBNU

Rabu, 03 Desember 2025 - 17:50
Badai Integritas dan Krisis Reputasi PBNU Achmad Jasuli Afandi, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo.

TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Krisis internal di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meledak sebagai konflik multikompleks yang secara fundamental membelah organisasi melalui tiga sumbu krusial: integritas ideologis-etis, dualitas otoritas struktural, dan kepentingan praksis-ekonomi.

Pemicu faktual konflik adalah polarisasi akut yang dipicu oleh kebijakan Ketua Umum Tanfidziyah yang mengundang akademikus terasosiasi pro-Israel, sebuah langkah yang secara terbuka melanggar manhaj (garis ideologi) NU yang pro-Palestina, dan memicu penolakan keras dari Syuriyah (Dewan Spiritual).

Ketegangan ini diperparah menjadi krisis konstitusional yang ditandai dengan ketidakselarasan otoritas antara Rais Aam dan Ketua Umum, serta dugaan pelanggaran prosedur dalam upaya pemakzulan eksekutif.

Tetapi akar konflik yang lebih dalam dan paling bombastis diduga melibatkan perebutan kontrol atas arah kebijakan ekonomi strategis, termasuk isu sensitif konsesi izin tambang, yang secara fatal mengancam independensi politik NU dan menyeretnya ke dalam pusaran kepentingan pragmatis menjelang Muktamar 2026 mempertaruhkan marwah organisasi keagamaan terbesar di dunia.

Kedekatan yang berlebihan dengan kekuasaan politik atau ekonomi selalu menjadi racun yang mengancam persatuan dan independensi NU. Konflik yang terjadi saat ini adalah gabungan dari masalah integritas ideologis (isu pro-Israel), otoritas Syuriyah (permintaan mundur), dan prosedur organisasi (saling klaim legalitas), menjadikannya salah satu krisis paling serius pasca-Khittah 1984.

Terkait dugaan pelanggaran etika dan prosedur, Syuriyah PBNU pada 20 November 2025 mengeluarkan risalah yang mendesak Ketua Umum PBNU, Gus Yahya Cholil Staquf, untuk mundur, menandakan keretakan struktural antara badan spiritual dan eksekutif.

Ketegangan memuncak dengan beredarnya surat tertanggal 26 November 2025 yang mengklaim telah memberhentikan Ketua Umum dan menyatakan Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, mengambil alih kepemimpinan sementara. Gus Yahya segera menolak keras surat yang disebutnya tidak sah dan melanggar AD/ART tersebut, menegaskan dirinya tetap menjabat dan mengklaim dokumen itu hanya draf.

Konflik terbuka ini memicu keprihatinan luas dari Pengurus Wilayah NU dan para Kiai Sepuh, yang mendesak PBNU untuk segera melakukan islah (perdamaian) dan tabayyun (klarifikasi) demi menghentikan polemik dan menjaga citra organisasi.

Secara historis dan epistimologis, konflik internal Nahdlatul Ulama (NU) berkisar pada tiga sumbu utama; yakni khittah dan ideologi, hubungan dengan kekuasaan, serta perebutan kepemimpinan organisasi.

Konflik fundamental tahun 1984 merupakan upaya pemurnian ideologis untuk kembali ke Khittah 1926 (melepaskan diri dari politik praktis) yang dipelopori oleh tokoh-tokoh kunci seperti KH. Achmad Siddiq dan Gus Dur, menetapkan preseden bahwa otoritas spiritual Syuriyah dan forum tertinggi Muktamar adalah penentu arah organisasi.

Konflik ini diperkuat dengan kasus 1999–2000 pasca-Gus Dur menjadi Presiden, yang menunjukkan bahwa ketegangan antara integritas organisasi dan pengaruh kekuasaan politik nasional selalu menjadi sumber perpecahan, menegaskan kembali bahwa Muktamar adalah forum tertinggi untuk menyelesaikan sengketa kepemimpinan, sebuah pola historis yang relevan untuk menganalisis krisis PBNU kontemporer yang juga dipicu oleh kekhawatiran atas kepentingan politik dan ekonomi praktis.

Analisis Fatalitas Konflik PBNU

Konflik internal terbuka di pucuk pimpinan PBNU secara fatal merusak wibawa moral organisasi keagamaan terbesar di Indonesia di mata umat dan bangsa, meniadakan peran NU sebagai penjaga nilai moderasi dan menciptakan kekosongan kepemimpinan moral yang berisiko diisi oleh kelompok ekstrem.

Dampak fatal lainnya mencakup disorientasi teologis di kalangan Nahdliyin karena terkikisnya keyakinan terhadap ketulusan ulama panutan (waratsatul anbiya'), yang melemahkan upaya membendung radikalisme.

Secara ekonomi, pertikaian ini menghambat proyek strategis dan profesionalitas pengelolaan sumber daya, merugikan jutaan UMKM dan lembaga pendidikan yang bergantung pada stabilitas organisasi.

Terakhir, secara psikologis, konflik ini menimbulkan kelelahan emosional dan keterasingan spiritual di kalangan grassroots, merusak kohesi sosial-keagamaan yang telah lama terbangun. Singkatnya, polemik PBNU mengancam stabilitas internal sekaligus merusak arsitektur moral dan sosial bangsa secara fundamental.

Konflik PBNU merupakan kasus klasik pertentangan otoritas yang diperintah (Tanfidziyah) dan memerintah (Syuriyah), sesuai teori konflik dialektik Dahrendorf, yang memandang ketegangan struktural ini sebagai pemicu potensial untuk perubahan dan perbaikan AD/ART menjelang Muktamar.

Secara fungsional (teori Lewis Coser), konflik ini positif karena memaksa organisasi menguji batas-batas konstitusionalnya dan memperkuat solidaritas internal kelompok yang merasa terancam (solidaritas islah PWNU). Namun, dalam perspektif Fiqh Siyasah, konflik ini adalah ujian kepatuhan terhadap prinsip Syura dan prosedur yang adil, di mana superioritas Rais Aam sebagai Ahlul Halli wal Aqdi harus tetap didampingi oleh kepatuhan pada dhabith (aturan).

Secara mendalam, perselisihan ini menyoroti erosi marwah ulama dan pergeseran fatal dari kepemimpinan berbasis kharisma dan kearifan lokal (teladan Kiai Sepuh) menuju birokrasi legal-rasional modern, sebuah transformasi yang mengikis ukhuwah islamiyah dan menuntut solusi Islah (rekonsiliasi) dan tabayyun (klarifikasi) sebagai jalan keluar syar'i terbaik.

Solusi holistik dan konprehensif untuk krisis PBNU harus segera berpusat pada tiga jalur aksi krusial : restorasi marwah, penegakan konstitusi, dan konsolidasi struktural. Prioritas utama adalah pembentukan Majelis Islah Khusus yang terdiri dari mustasyar dan kiai sepuh netral untuk memimpin tabayyun tertutup antara Rais Aam dan Ketua Umum.

Bertujuan mencari titik temu spiritual dan organisasional tanpa mencari pemenang. Secara prosedural harus dilakukan audit tuntas atas AD/ART dan semua dugaan pelanggaran atau pemecatan.

Dengan hasil audit tersebut menjadi supremasi hukum organisasi yang mengikat, merujuk pada tradisi NU menyelesaikan konflik ideologis atau struktural dengan mengembalikan otoritas tertinggi pada Syuriyah (Rais Aam) dan legitimasi akhir pada forum Muktamar sebagai mekanisme check and balance.

Jika jalan islah buntu dan stabilitas organisasi terancam, percepatan Muktamar Luar Biasa (MLB) menjadi jalan demokratis terakhir. Intinya, pimpinan NU wajib mengakhiri konflik terbuka ini demi menjaga khittah dan martabat ulama, membuktikan bahwa kepentingan umat jauh lebih berharga daripada jabatan sesaat.

  

***

*) Oleh : Achmad Jasuli Afandi, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Probolinggo just now

Welcome to TIMES Probolinggo

TIMES Probolinggo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.