TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Kehadiran Artificial Intelligence (AI) dalam kehidupan manusia ibarat pisau bermata dua: ia bisa menjadi alat yang menajamkan kreativitas, tetapi juga bisa berubah menjadi bayang-bayang yang menenggelamkan daya cipta manusia itu sendiri.
AI bukan sekadar teknologi; ia adalah cermin. Di hadapannya, manusia dipaksa bercermin: apakah kita masih pencipta, atau mulai rela menjadi penekan tombol belaka.
Dalam beberapa tahun terakhir, AI sering dipuja sebagai solusi segala hal. Ia menulis, menghitung, merancang, bahkan “berpikir”. Namun di titik inilah pertanyaan mendasarnya muncul: di mana posisi kreativitas manusia ketika mesin mampu meniru pola-pola pikir kita? Apakah kreativitas akan tumbuh subur, atau justru layu karena disubstitusi?
Kreativitas sejati tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari pergulatan. Ia tumbuh dari kegagalan, keraguan, dan pencarian makna. AI bekerja dengan cara sebaliknya: ia lahir dari data, berlari di atas statistik, dan mengambil keputusan dari pola yang sudah ada. Maka ketika kreativitas manusia berdiri di atas AI, yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar efisiensi, tetapi martabat berpikir itu sendiri.
AI sejatinya adalah alat seperti pena, mesin cetak, atau komputer pada masanya. Pena tidak menulis puisi; manusialah yang menuangkan luka dan harapannya ke atas kertas. Mesin cetak tidak melahirkan pemikiran; ia hanya mempercepat penyebarannya. Begitu pula AI. Ia tidak memiliki kecemasan eksistensial, tidak memahami getirnya kegagalan, dan tidak mengenal rasa tanggung jawab moral. Semua itu adalah wilayah manusia.
Masalah muncul ketika AI tidak lagi diperlakukan sebagai alat, melainkan sebagai jalan pintas. Kreativitas pun perlahan berubah menjadi sekadar hasil, bukan proses. Ide tidak lagi diperas dari perenungan, tetapi diminta secara instan. Di sinilah bahaya itu mengendap: ketika manusia berhenti bertanya, berhenti meragukan, dan berhenti berproses, kreativitas kehilangan akarnya.
Kreativitas yang tumbuh di atas AI seharusnya bersifat dialogis, bukan pasif. AI dapat menjadi cermin awal, pemantik ide, atau pembuka kemungkinan. Namun keputusan akhir, keberanian memilih, dan tanggung jawab makna tetap harus berada di tangan manusia. Jika AI adalah peta, maka manusia adalah penjelajahnya. Peta tidak pernah menentukan ke mana seseorang harus melangkah; ia hanya menunjukkan kemungkinan arah.
Dalam dunia pendidikan, dilema ini terasa paling nyata. Peserta didik kini bisa menghasilkan esai rapi dalam hitungan detik, tetapi belum tentu memahami apa yang ia tulis. Pengetahuan berubah menjadi kosmetik, bukan kesadaran.
Kreativitas yang seharusnya tumbuh dari proses berpikir justru tergantikan oleh keahlian memerintah mesin. Di titik ini, AI bukan lagi alat bantu, melainkan tongkat penyangga yang melemahkan otot intelektual.
Padahal, kreativitas manusia justru menemukan keunggulannya pada hal-hal yang tak bisa diajarkan kepada mesin: empati, intuisi, konteks, dan keberanian moral. AI bisa menyusun kalimat indah, tetapi tidak tahu kapan keindahan itu melukai. AI bisa menawarkan solusi logis, tetapi tidak memahami keadilan. Di situlah kreativitas manusia seharusnya berdiri mengolah hasil kerja AI dengan nurani, bukan sekadar menerima dengan takzim.
Kreativitas yang sehat tidak tunduk pada teknologi, tetapi memanfaatkannya secara sadar. Ia seperti penunggang kuda, bukan penumpang. AI boleh berlari kencang, tetapi manusialah yang memegang kendali arah. Tanpa kendali itu, kreativitas akan berubah menjadi banjir informasi tanpa makna.
Lebih jauh, kreativitas yang tumbuh di atas AI menuntut etika. Tidak semua yang bisa dilakukan harus dilakukan. Tidak semua yang cepat itu tepat. Kreativitas bukan soal siapa paling produktif, melainkan siapa paling bertanggung jawab terhadap dampak karyanya. Dalam dunia yang dipenuhi konten buatan mesin, kreativitas manusia justru diuji pada kejujuran dan keberpihakannya.
Di sinilah kita perlu menegaskan kembali satu hal penting: AI tidak boleh menggantikan proses berpikir, melainkan menantangnya. AI seharusnya membuat manusia berpikir lebih dalam, bukan lebih malas. Ia mestinya membuka ruang eksplorasi, bukan menutup pintu perenungan.
Kreativitas yang tumbuh di atas AI adalah kreativitas yang sadar batas. Ia tahu kapan menggunakan mesin, dan kapan berhenti untuk mendengarkan suara batin. Ia tidak silau oleh kecanggihan, tetapi setia pada makna. Karena masa depan bukan ditentukan oleh siapa yang memiliki teknologi paling canggih, melainkan oleh siapa yang paling bijak menggunakannya.
AI akan terus berkembang, lebih cepat dari yang bisa kita bayangkan. Namun kreativitas manusia akan tetap relevan selama ia tidak menyerahkan sepenuhnya hak berpikirnya kepada mesin. Sebab kreativitas sejati bukan soal kemampuan menghasilkan, melainkan keberanian mempertanggungjawabkan makna dari apa yang dihasilkan.
Dan di situlah manusia tetap berdiri: bukan di bawah bayang-bayang AI, tetapi di atasnya sebagai pengendali, penafsir, dan penjaga nilai.
***
*) Oleh : Abdur Rahmad, Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |