TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak awal digadang sebagai terobosan sosial besar yang mampu memperbaiki kualitas generasi. Namun, jika ditelisik lebih dalam, program ini justru tampak sebagai intervensi reaktif mahal, tidak berkelanjutan, dan salah sasaran.
Secara ilmiah, MBG gagal memahami bahwa tragedi stunting bukan terjadi di bangku sekolah, tetapi pada 1.000 hari pertama kehidupan. Pada fase itulah gizi kronis buruk, sanitasi minim, dan kurangnya edukasi kesehatan membentuk dasar persoalan gizi nasional. Artinya, memberi makan anak sekolah justru melewatkan kelompok paling rentan yang seharusnya disasar.
Di lapangan, implementasi MBG memunculkan persoalan baru: tata kelola yang amburadul, risiko keracunan pangan, menu rendah gizi yang hanya mengandalkan nasi atau mi instan, hingga dugaan penyelewengan anggaran.
Alih-alih menjadi investasi kesehatan, program ini malah membuka ruang bagi inflasi pangan akibat konsumsi masif yang tak terkendali. Ketika harga komoditas naik, daya beli masyarakat miskin tertekan, sementara negara mengucurkan anggaran jumbo untuk program yang manfaatnya tidak proporsional dengan risikonya.
Di atas kertas, MBG memang terlihat menawarkan daya tarik multisektor: mendorong ekonomi katering, meringankan beban rumah tangga, memperkuat legitimasi politik, dan meningkatkan asupan gizi harian anak sekolah.
Secara teoritis, program ini bahkan diklaim mampu menyerap tenaga kerja dan mendukung petani lokal. Tetapi janji itu runtuh ketika diuji oleh realitas jangka panjang.
MBG justru berisiko menciptakan ketergantungan konsumsi, mematikan pasar UMKM sekitar sekolah karena mekanisme pengadaan terpusat, serta memberi gizi temporer tanpa membangun kapasitas kedaulatan pangan nasional.
Kesalahan paling mendasar dari MBG ialah ketidakmampuannya melihat ketahanan pangan sebagai sistem, bukan sekadar makanan yang dibagikan. Sanitasi buruk, irigasi rusak, dan rantai pasok yang keropos tidak akan pernah terselesaikan dengan memberi makan gratis.
Bahkan menurut ekonom pertanian Bustanul Arifin, dana seharusnya lebih efektif bila digunakan untuk menekan food loss pasca-panen yang mencapai 30–40 persen angka fantastis yang selama ini membuat harga pangan tidak stabil bagi rakyat miskin.
Lebih jauh, MBG menciptakan dilema etis: bantuan universal berpotensi mengurangi belanja mandiri keluarga terhadap pangan bergizi (crowding out). Pengadaan pangan yang terpusat mematikan UMKM yang selama ini menjadi denyut ekonomi lokal.
Ironisnya, program yang diklaim mengurangi “kemiskinan gizi” justru berpotensi menciptakan “kemiskinan ekonomi” baru akibat terpinggirkannya pelaku usaha kecil dan petani yang harusnya menjadi tulang punggung kedaulatan pangan.
Reformasi Sistem Pangan yang Berkeadilan
Indonesia membutuhkan intervensi gizi yang lebih berakar pada keadilan sosial, bukan retorika populis. Ada dua pendekatan fundamental yang jauh lebih strategis dibanding menebar makanan siap saji ke sekolah-sekolah.
Pertama, investasi infrastruktur pangan jangka panjang: modernisasi gudang, revitalisasi irigasi, dan peningkatan efisiensi distribusi. Kebijakan ini bukan hanya menekan food loss, tetapi juga selaras dengan nilai Pancasila khususnya sila kelima tentang keadilan sosial.
Dalam perspektif Islam, mengurangi pemborosan juga merupakan upaya menghindari tabzir dan menjaga keberkahan pangan. Di sinilah letak tanggung jawab negara: membangun sistem yang menyehatkan, bukan membelanjakan anggaran untuk konsumsi instan.
Kedua, fokus pada intervensi gizi berbasis komunitas untuk 1.000 hari pertama kehidupan: posyandu yang kuat, suplemen ibu hamil, edukasi nutrisi, dan sanitasi layak. Pendekatan ini bukan saja lebih efektif, tetapi juga lebih manusiawi. Ia mencerminkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab serta nilai ukhuwah Islamiyah dalam menjaga generasi masa depan.
Pendekatan ini harus berjalan paralel dengan penguatan sistem pangan lokal model school feeding berbasis komunitas yang mewajibkan pembelian dari petani dan nelayan sekitar. Dengan cara ini, gizi anak membaik, sementara petani kembali menjadi subjek utama pembangunan pangan.
Pada akhirnya, Program Makan Bergizi Gratis hanya menjadi solusi band-aid menutup luka tanpa menyembuhkan penyakit. Dengan anggaran raksasa, program ini justru berisiko menjadi beban fiskal berkepanjangan yang menggerus dana vital untuk sanitasi, kesehatan publik, pertanian, dan infrastruktur pangan.
Indonesia tidak butuh program makan siang yang hanya memuaskan statistik politik, tetapi sistem pangan yang tangguh, adil, dan memberdayakan setiap warganya.
Sudah saatnya negara bergeser dari memberi ikan menuju memperbaiki lautan pangan kita. Kedaulatan pangan bukan dibangun dari dapur katering massal, tetapi dari petani yang sejahtera, sistem distribusi yang kokoh, dan generasi yang tumbuh sehat sejak hari pertama kehidupan.
***
*) Oleh : Achmad Jazuli Afandi, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |