https://probolinggo.times.co.id/
Resensi

Menelusuri Jejak Teologi Anti Rasisme di Indonesia

Minggu, 16 November 2025 - 18:46
Menelusuri Jejak Teologi Anti Rasisme di Indonesia Mushafi Miftah, Dosen Universitas Nurul Jadid, Probolinggo.

TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Buku ini membahas bagaimana teologi (ajaran agama) dapat dipakai sebagai alat pembebasan terhadap rasisme khususnya dalam konteks Kristen dan Islam dan bagaimana gagasan tersebut bisa diadaptasi ke realitas sosial di Indonesia. 

Penulis menelusuri akar rasisme historis, pemikiran teologi pembebasan, serta menawarkan konstruksi teologi anti-rasisme yang kontekstual dan inklusif bagi masyarakat Indonesia.

Pada bagian pertama buku berisi pembahasan yang diawali dengan analisis historis: bagaimana warna kulit (hitam/putih) telah jadi simbol moral (gelap, jahat, terang, baik) sejak zaman kuno dan dalam tradisi Kristen tengah sampai Renaisans. Simbolisme ini kemudian menguatkan ideologi rasis dalam sejarah seperti perbudakan di AS dan apartheid di Afrika Selatan.

Teologi pembebasan sejatinya merupakan paradigma teologis yang berpihak kepada kaum tertindas. Teologi ini bukan hanya sekedar doktrin teologis, tetapi juga tindakan sosial  agama sebagai alat transformasi struktural. 

Misalnya, James H. Cone, seorang teolog Kristen kulit hitam Amerika, yang membangun teologi hitam (Black Theology) dengan menafsirkan Alkitab dalam konteks penderitaan rasial. 

Bagi Cone, Yesus dan Tuhan tidak abstrak: mereka hadir dalam pengalaman historis orang kulit hitam yang tertindas. Cone juga menggunakan analisis sosial (termasuk Marxian) untuk menyoroti struktur ketidakadilan rasial.

Begitu juga Farid Esack seorang teolog Islam dari Afrika Selatan, yang mengembangkan teologi pembebasan Islam yang sangat kontekstual. Ia menekankan prinsip tauhid (kesatuan manusia di bawah Tuhan), dan menggunakan hermeneutika regresif-progresif untuk menafsirkan Al-Quran agar relevan dengan perjuangan melawan apartheid dan diskriminasi rasial. Esack juga memperkenalkan solidaritas lintas agama sebagai bagian dari perlawanan.

Penulis buku ini membandingkan persamaan dan perbedaan pemikiran keduanya: kedua teolog tersebut berangkat dari pengalaman penderitaan rasial, namun identitas (ras vs agama), strategi teologi, dan metode penafsiran mereka berbeda. Cone lebih menekankan identitas hitam sebagai dasar perjuangan, sementara Esack lebih menonjolkan identitas Islam dan pluralisme.

Pemikiran Cone dan Esack dikaitkan dengan realitas rasisme di Indonesia  misalnya diskriminasi terhadap orang Papua dan etnis Tionghoa. Buku ini mengusulkan teologi anti-rasisme Indonesia yang pluralistik dan inklusif, melibatkan komunitas Kristen dan Islam, serta menempatkan agama sebagai kekuatan sosial pembebasan. Yesus diposisikan sebagai simbol pembebasan sekaligus juru damai, melintasi batas ras, dan dialog antaragama sangat ditekankan. 

Dalam konteks itu, Agama harus menjadi kekuatan moral untuk melawan rasisme. Teologi anti-rasisme di Indonesia mesti berbasis pengalaman historis, kontekstual, dan kolaboratif, melibatkan semua ras dan agama dalam solidaritas nyata.

Kelebihan buku ini pertama, sangat kontekstual dan relevan, yakni menyambungkan pemikiran teologis historis (Cone dan Esack) dengan isu rasisme kontemporer di Indonesia. 

Kedua, membahas teologi Kristen dan Islam secara seimbang dan kritis, menawarkan dialog teologis yang konstruktif. 

Ketiga, menekankan agama sebagai kekuatan sosial, bukan hanya sistem kepercayaan. 

Keempat, menggunakan hermeneutika, analisis sosial, dan refleksi teologis dengan kedalaman. 

Kelima, tidak hanya pemikiran abstrak, tetapi mendorong aksi nyata melalui teologi anti-rasisme di Indonesia.

Kekurangan buku ini, ialah ditulis dengan gaya akademis dan teoretik. Banyak kajian teologis dan filosofis, sehingga pembaca awam mungkin kesulitan memahami beberapa bagian mendalam. 

Kemudian, contoh kasus lokal mungkin terbatas. Jika pembaca berharap kajian lapangan atau data empiris modern di Indonesia, mungkin perlu tambahan riset lapangan. 

Selanjutnya, tantangan implementasi. Ide teologi anti-rasisme yang ideal mungkin sulit diterapkan praktis dalam struktur gereja atau organisasi keagamaan lokal tanpa dukungan luas.

Buku ini memiliki beberapa manfaat antara lain, memberi referensi perbandingan teologi pembebasan dari Kristen dan Islam, menawarkan dasar moral-teologis untuk advokasi anti-rasisme, memberi inspirasi untuk membangun teologi inklusif dan progresif di tengah keragaman ras dan agama, dan menumbuhkan kesadaran akan isu rasisme di Indonesia dan potensi agama sebagai agen perubahan sosial.

Buku yang berjudul Melampaui Warna Kulit; Jejak Jejak Teologi Anti-Rasisme dalam Kristen dan Islam untuk Indonesia adalah buku penting dan visioner yang menggabungkan analisis historis, teologis, dan sosial untuk membangun kerangka teologi anti-rasisme yang kontekstual dan aplikatif di Indonesia. Dengan meminjam gagasan dari James H. Cone dan Farid Esack, penulis menyajikan paradigma teologis yang progresif, inklusif, dan moral. 

Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin memahami hubungan agama, identitas ras, dan keadilan sosial  serta bagaimana teologi bisa menjadi alat pembebasan.

Buku.jpg

 

***

*) Oleh : Mushafi Miftah, Dosen Universitas Nurul Jadid, Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Probolinggo just now

Welcome to TIMES Probolinggo

TIMES Probolinggo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.