TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Makam dua pemuda asal Madura di muara Sungai Kertosono, Desa Kalibuntu, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jatim, tetap diziarahi warga.
Meski hanya menyimpan kepala tanpa badan, makam yang dikenal dengan nama Kramat Lanceng ini tak pernah sepi doa, menjadi saksi sejarah kematian, pengasingan, sekaligus keyakinan yang tak pernah padam.
Warga setempat menyebutnya Kramat Lanceng. Dalam bahasa Madura, lanceng berarti perjaka. Nama sederhana itu menyimpan sebuah kisah yang luar biasa.
Lokasinya tak cukup jauh dari jalan beraspal. Sekitar 300 meter ke arah barat, dari kantor Desa Kalibuntu.
Sayumi, pria tua asal Pamekasan, Madura, sekaligus juru kunci makam itu menceritakan, kala itu dua pemuda asal Sumenep, Madura datang ke tanah Jawa. Bukan untuk menjajah atau menjadi mata-mata, melainkan menuntut ilmu. Namun saat itu masih masa penjajahan Jepang.
"Mereka dibunuh oleh tentara Jepang dengan tuduhan sebagai intel pasukan Sabilillah, atau laskar dari kalangan santri dan kyai yang berjuang demi kemerdekaan," ungkap Sayumi, Kamis (10/7/2025).
Tubuh mereka ditelan lautan, sementara kepala mereka hanyut hingga ke sungai Kalibuntu. Di sanalah warga menandai tempat itu sebagai titik temu antara tragedi dan takdir, antara luka sejarah dan laku spiritual.
"Akhirnya warga memakamkannya di dekat aliran sungai itu. Makamnya memang satu, tapi di dalam itu ada dua kepala," lanjutnya.
Kini makam itu berdiri bersih dan terawat. Lantainya telah dikeramik, bendera merah putih berkibar tegak di setiap sudut pagar, seolah mengabarkan bahwa yang gugur tak pernah benar-benar pergi. Bahwa tanah air akan selalu memeluk para syuhada, meski hanya kepala yang tersisa.
Menurut keterangan warga setempat, nama dua sosok pemuda itu adalah Muhammad Syam dan Langgeng.
Jumari, salah satu warga setempat mengatakan, dulu makam Kramat Lanceng sering menjadi tempat tirakat. Mereka yang datang biasanya punya hajat besar, meski tak semua berhasil karena cobaannya berat.
“Sekarang sudah tidak ada yang tirakat lagi, mungkin karena takut atau memang zaman sudah berubah,” kata Jumari.
Kendati demikian, ziarah tak pernah sepi. Menurut Jumari, Kamis malam dan Jumat malam menjadi waktu paling ramai. Para peziarah berdatangan, ada yang membawa sebotol air, atau segenggam kemenyan.
“Biasanya kalau ada yang punya hajat, ngaji bareng di sini. Kadang tasyakuran, kadang hanya duduk membaca istighfar,” lanjut Jumari.
Bahkan sempat terlihat seorang anak kecil bersama ibunya yang kebetulan melewati makam itu, tak hentinya mulutnya komat kamit membaca do'a. Seakan ia tau bahwa itu adalah makam orang muliya.
"Amiit..amiit.., assalam alaikum.. assalam alaikum.., pong lebet..," kata anak itu sambil menundukkan kepala.
Bagi warga Kalibuntu, Kramat Lanceng adalah jendela spiritual. Tempat doa-doa naik, dan harapan turun perlahan. Menjadi penanda bahwa yang terpenting dalam hidup adalah meninggalkan nama baik.
Karena kematian bisa memisahkan kepala dari badan, namun tidak dari sejarah dan keyakinan. (*)
Pewarta | : Agus Miftahurrahman |
Editor | : Muhammad Iqbal |