TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Pola asuh menjadi fondasi penting dalam membentuk karakter dan prestasi anak. Menyadari hal itu, Mahdi anggota DPRD Komisi C Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan kelompok masyarakat Segoro Indah menggelar sosialisasi bertajuk “Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dan Prestasi Akademik Anak”, Sabtu (18/10/2025), di Hotel Nadia Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Kegiatan ini diikuti 125 peserta yang terdiri dari para orang tua, pendidik, dan tokoh masyarakat. Dalam pantauan TIMES Indonesia, suasana kegiatan berlangsung hangat. Para peserta tampak antusias, mendengarkan pemaparan dengan penuh perhatian dan semangat kebersamaan.
Menurut Mahdi, sebelum anak mengenal ruang kelas dan sistem pendidikan formal, rumah tangga sudah lebih dulu menjadi sekolah bagi anak. Di sanalah nilai, etika, tanggung jawab, dan kasih sayang ditanamkan melalui keteladanan orang tua.
“Semoga pertemuan ke sekian kalinya ini membawa manfaat dan mencerahkan untuk kita semua,” ujarnya di hadapan para peserta sosialisasi.
Ia mengingatkan bahwa di tengah derasnya arus teknologi dan pergeseran nilai sosial, orang tua harus mampu menjadi pengarah dan penjaga moral anak-anaknya.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) asal daerah pemilihan Probolinggo, Pasuruan ini juga menggarisbawahi pentingnya sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam membangun generasi muda yang tangguh.
Ia menjelaskan bahwa rogram pembinaan yang digagas DPRD Jatim ini merupakan wujud nyata perhatian pemerintah terhadap aspek kesejahteraan psikologis keluarga.
"Keluarga yang bahagia dan harmonis menjadi fondasi terciptanya anak yang berdaya saing tinggi," terangnya.
Ia berharap agar para orang tua tidak sekadar menjadi pendengar dalam sosialisasi tersebut, tetapi juga pelaku perubahan di rumah masing-masing.
Sementara itu, Yatimul Ainun, Pimpinan Redaksi TIMES Indonesia, hadir sebagai narasumber utama. Ia menyoroti tantangan baru yang dihadapi keluarga modern yakni bagaimana orang tua mengelola peran di tengah derasnya arus digitalisasi.
“Ancaman kita hari ini ada di depan mata, yaitu gadget. Mau positif atau tidak, tergantung kita. Mau bahagia, mau miskin, semuanya tergantung kita,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa anak adalah cerminan pola asuh orang tuanya. “Tidak ada orang tua yang tidak ingin anaknya baik, pintar, dan berakhlak. Maka kuncinya ada pada kita sebagai orang tua,” lanjutnya.
Dalam paparannya, Ainun akrab disapa itu juga menyinggung fenomena fatherless atau kehilangan figur ayah yang kini menjadi isu serius di Indonesia.
Berdasarkan data nasional, 20,1 persen anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah dalam kesehariannya. Dari 15,9 juta anak, sebanyak 4,4 juta hidup tanpa figur ayah sama sekali, sedangkan 11,5 juta lainnya memiliki ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu.
“Ketiadaan figur ayah secara emosional menimbulkan kesenjangan dalam pola asuh. Dampaknya tidak hanya pada karakter anak, tetapi juga pada prestasi akademiknya,” jelasnya.
Fenomena ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara peran ayah dan ibu dalam pengasuhan. Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga panutan dan pengarah karakter anak.
Ainun menambahkan, pola asuh positif yang penuh kasih sayang, perhatian, dan komunikasi terbuka menjadi kunci tumbuhnya anak yang bahagia dan berprestasi.
“Disiplin yang baik bukan berarti keras. Disiplin yang benar adalah disiplin yang mendidik, dengan keteladanan dan penghargaan atas perilaku baik anak,” ujarnya.
Menurutnya, komunikasi hangat antara orang tua dan anak akan menciptakan rasa aman dan percaya. Dalam suasana itu, anak terdorong untuk belajar dan berprestasi tanpa tekanan.
Lebih jauh, Ainun menegaskan pentingnya keteladanan dalam keluarga. “Keteladanan bukan hanya lewat kata, tapi lewat tindakan sehari-hari. Anak belajar bukan dari apa yang kita katakan, tapi dari apa yang kita lakukan,” katanya.
Dalam perspektif Islam, ia mengutip Kitab Muktarul Ahadits tentang tiga kewajiban utama orang tua terhadap anak: memberi nama yang baik, mengarahkan anak menuntut ilmu, dan menikahkan anaknya ketika sudah saatnya.
“Ketiga hal itu menggambarkan bahwa kasih sayang orang tua tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bimbingan moral dan spiritual,” tambahnya.
Di akhir sesi pemaparannya, Ainun berpesan kepada para ibu dan ayah agar saling memahami peran masing-masing dalam rumah tangga.
“Bersyukurlah para ibu yang bisa bersama anak setiap hari, karena itu adalah rezeki besar. Dan para ayah, jangan disalahpahami. Apa yang kalian perjuangkan di luar rumah adalah bagian dari cinta untuk keluarga,” imbuhnya.
Dalam sesi berikutnya, Agus Subiyanto, pegiat literasi dan media sosial, menegaskan bahwa kunci keberhasilan pola asuh anak bukan semata pada lembaga pendidikan, melainkan pada bagaimana orang tua membangun kebiasaan positif di rumah.
Menurutnya, rumah adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Di sanalah nilai, disiplin, dan karakter terbentuk melalui keseharian, bukan sekadar teori.
“Kontrol pendidikan itu dimulai dari rumah. Kebiasaan anak di rumah harus diarahkan pada hal-hal yang mendidik dan membentuk karakter,” ujarnya.
Agus menilai, banyak keluarga saat ini menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan pada sekolah. Padahal, sekolah hanya memperkuat pondasi yang dibangun di rumah. Jika pondasinya rapuh, hasilnya pun tidak akan bertahan lama.
Ia mencontohkan, anak yang terbiasa disiplin belajar, menjaga kebersihan, atau terbuka dalam berkomunikasi dengan orang tua, akan membawa sikap itu ke sekolah dan lingkungan sosialnya.
“Anak yang dibiasakan untuk jujur dan menghargai waktu di rumah, akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan siap berprestasi di luar,” tuturnya.
Selain itu, Agus menyoroti pentingnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak di era digital. Menurutnya, arus informasi yang tak terbendung membuat anak-anak mudah terpapar nilai-nilai yang tidak sesuai dengan budaya keluarga dan agama.
Ia mengingatkan, orang tua harus hadir bukan sebagai pengawas yang menakutkan, melainkan sebagai teman dialog yang bijak.
“Jaga pergaulannya, dampingi aktivitasnya, dan dekatkan anak pada kebiasaan yang baik. Kalau anak nyaman dengan orang tuanya, maka nasihat akan lebih mudah diterima,” jelasnya.
Dalam paparannya, Agus juga mengaitkan pentingnya literasi digital dengan pengasuhan modern. Orang tua, katanya, tak cukup hanya melarang atau mengontrol, tetapi juga harus melek teknologi.
“Kita tidak bisa melarang anak mengenal dunia digital, tetapi kita bisa mengarahkan bagaimana ia memanfaatkannya untuk hal-hal positif. Misalnya, belajar lewat platform edukatif, menulis, atau membuat karya kreatif di media sosial,” katanya.
Pendekatan ini, menurut Agus, akan menumbuhkan rasa tanggung jawab sekaligus kreativitas anak di tengah dunia yang semakin terbuka.
Pola asuh bahagia bukan tentang kerasnya kontrol, tetapi tentang konsistensi dalam menanamkan nilai.
“Kebahagiaan orang tua adalah energi bagi anak. Kalau orang tuanya penuh amarah, anaknya tumbuh dalam ketakutan. Tapi kalau orang tuanya sabar, anaknya tumbuh dalam percaya diri. Itulah pendidikan paling sederhana, tapi paling besar pengaruhnya,” pungkasnya,
Kegiatan sosialisasi ini menjadi ruang refleksi bersama tentang pentingnya pola asuh bahagia yakni pola pengasuhan yang berimbang antara kasih sayang, disiplin, dan keteladanan. (*)
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |