TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Upaya menata ulang relasi anak dengan gawai dan internet berbasis nilai sosial-religius mulai menemukan momentumnya di Kabupaten Probolinggo, Jatim.
Senin (29/12/2025), kegiatan diseminasi riset, serah terima Memorandum of Agreement (MoA), serta penyerahan policy brief dilaksanakan di Ruang Pertemuan Agus Salim, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan atau Disdikdaya Kabupaten Probolinggo.
Kegiatan ini menandai langkah konkret hilirisasi riset bertajuk DIGIDETOX-QU: Model Intervensi Sosial dan Inovasi Pembelajaran untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial-Religius Anak di Kabupaten Probolinggo.
Acara tersebut dihadiri Kepala Disdikdaya Kabupaten Probolinggo, Hery Thahjono, serta disaksikan oleh tim peneliti dari UPN Veteran Jawa Timur (Dr. Yuli Candrasari, Dr. Catur Suratnoaji) dan Universitas Nurul Jadid (Dr. Ahmad Fawaid, Dr. Chusnul Muali), perwakilan MGMP PAI SMP, KKG PAI SD Kabupaten Probolinggo, serta jajaran kepala bidang SD, SMP, dan Kebudayaan Disdikdaya Probolinggo.

Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan dialog tindak lanjut bersama Wakil Bupati Probolinggo dan penyerahan policy brief sebagai dasar rekomendasi kebijakan daerah.
Dalam sambutannya, Hery Thahjono menegaskan bahwa riset ini menjawab tantangan riil pendidikan saat ini.
“Kami melihat persoalan penggunaan gawai pada anak bukan sekadar isu teknis, tetapi persoalan karakter dan ketahanan sosial. Model DIGIDETOX-QU ini memberi kerangka yang jelas, terukur, dan relevan dengan konteks lokal Probolinggo,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan membuka ruang integrasi rekomendasi riset ini ke dalam kebijakan daerah.
Riset DIGIDETOX-QU didanai oleh Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI melalui skema Program Hilirisasi Riset Prioritas–SINERGI.

Penelitian ini melibatkan 20 sekolah mitra yang tersebar di empat kawasan utama Kabupaten Probolinggo—timur, barat, pesisir, dan pegunungan—dengan partisipasi 370 siswa serta 356 orang tua.
Ketua tim peneliti, Dr. Yuli Candrasari, M.Si., menjelaskan, hasil riset menunjukkan pola yang perlu segera ditangani.
“Siswa SMP memiliki kecenderungan screen time lebih tinggi dibandingkan siswa SD. Hampir seluruh responden, baik SD maupun SMP, menyebut munculnya kegelisahan ketika tidak memegang gawai, dengan respon paling banyak datang dari siswa laki-laki,” jelasnya.
Dari sisi keluarga, pengawasan orang tua terhadap anak SMP juga ditemukan lebih longgar dibandingkan anak SD.
Menjawab temuan tersebut, tim peneliti merancang serangkaian solusi terintegrasi. Di antaranya adalah pengembangan modul intervensi sosial DIGIDETOX, inovasi pembelajaran melalui Kelas Literasi Sosial dengan metode CERIA, penyusunan materi tematik Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ) dan Furudhul Ainiyah, serta perancangan policy brief untuk integrasi kurikulum muatan lokal berbasis DIGIDETOX-QU.
Empat rekomendasi utama diajukan kepada pemerintah daerah, yakni integrasi model DIGIDETOX-QU dalam Kurikulum Karakter Digital Nasional, perancangan Peraturan Bupati tentang buku ajar tematik BTQ dan Furudhul Ainiyah, penerapan Standar Sekolah Digital Sehat Qur’ani (SRDQ), serta riset lanjutan dan evaluasi kebijakan oleh lembaga daerah.
“Harapan kami, riset ini tidak berhenti sebagai laporan akademik, tetapi benar-benar menjadi kebijakan yang melindungi dan membimbing anak-anak kita dalam ekosistem digital,” tutup Yuli Candrasari.
Dengan sinergi riset, sekolah, dan pemerintah daerah, DIGIDETOX-QU diharapkan menjadi model nasional dalam membangun karakter digital anak yang sehat dan Qur’ani. (*)
| Pewarta | : Muhammad Iqbal |
| Editor | : Muhammad Iqbal |