TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Perubahan zaman bergerak lebih cepat daripada kesiapan nalar manusia. Di era digital hari ini, seseorang tak lagi harus turun ke jalan atau berdiri di mimbar untuk menyuarakan pendapat. Cukup dengan gawai di genggaman, jari menjadi pena dan layar menjadi panggung. Media sosial menjelma ruang publik virtual tempat opini, kritik, bahkan amarah dilontarkan tanpa sekat ruang dan waktu.
Namun di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan mendasar yang terus mengemuka: apakah kebebasan berpendapat di media sosial benar-benar sebuah hak, atau justru telah berubah menjadi kebebasan yang kehilangan arah dan batas?
Media sosial Facebook, Twitter (X), Instagram, TikTok telah menjadi etalase demokrasi digital. Setiap orang merasa memiliki mimbar sendiri, tempat suara bisa menggema tanpa izin penjaga gerbang kekuasaan.
Dalam wajah idealnya, media sosial adalah perpanjangan lidah rakyat. Tetapi dalam wajah lainnya, ia kerap berubah menjadi arena gaduh, penuh cacian, fitnah, dan ujaran kebencian. Kebebasan yang seharusnya melahirkan pencerahan justru sering kali menjelma bara yang membakar nalar publik.
Secara prinsip, kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal ini sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menjamin kebebasan berekspresi dan menyampaikan informasi.
Dengan dasar ini, menyampaikan pendapat di media sosial sejatinya adalah hak yang sah dan dilindungi. Negara tidak boleh dengan mudah menutup mulut warganya, apalagi membungkam kritik yang disampaikan secara bertanggung jawab.
Namun, seperti pisau bermata dua, kebebasan berpendapat tidak pernah berdiri sendirian. Ia selalu beriringan dengan tanggung jawab. Di sinilah persoalan mulai mengerucut. Media sosial sering menjadi ruang di mana kebebasan melampaui etika, bahkan menabrak hukum dan moralitas.
Kita menyaksikan sendiri bagaimana kebebasan berekspresi kerap tergelincir menjadi pencemaran nama baik, fitnah, hoaks, penistaan agama, hingga ancaman kekerasan. Kata-kata tak lagi digunakan untuk merawat akal sehat, melainkan untuk melukai, menjatuhkan, dan memecah belah. Dalam situasi ini, kebebasan berubah menjadi dalih untuk bertindak semena-mena.
Fenomena ini diperparah oleh anonimitas dunia maya. Topeng akun palsu membuat sebagian orang merasa kebal hukum dan kehilangan empati. Mereka berani berkata kasar, menebar kebencian, dan menghakimi tanpa menyadari bahwa di balik layar ada manusia nyata yang bisa terluka.
Di titik inilah negara hadir melalui regulasi, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meski menuai kritik karena rawan disalahgunakan, secara esensial UU ITE lahir sebagai pagar agar kebebasan tidak menjelma kebiadaban. Ia dimaksudkan bukan untuk membungkam suara, melainkan menertibkan cara bersuara.
Namun, perlu ditegaskan: kebebasan berpendapat memang bukan hak yang absolut, tetapi pembatasannya pun tidak boleh sewenang-wenang. Regulasi harus dijalankan secara proporsional, transparan, dan akuntabel.
Hukum tidak boleh berubah menjadi alat kekuasaan untuk mengkriminalisasi kritik yang sah dan rasional. Di sinilah peran penting masyarakat sipil, media independen, dan lembaga peradilan sebagai penjaga keseimbangan demokrasi.
Lebih dari sekadar hukum, akar persoalan kebebasan berpendapat di media sosial terletak pada rendahnya literasi digital. Banyak pengguna belum memahami bahwa setiap unggahan memiliki dampak sosial dan konsekuensi hukum. Media sosial bukan ruang privat, melainkan ruang publik dengan jangkauan luas dan jejak digital yang abadi.
Literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis menggunakan aplikasi, tetapi juga kesadaran etis: kapan harus berbicara, bagaimana menyampaikan kritik, dan kepada siapa pesan diarahkan. Tanpa literasi, kebebasan hanyalah kebisingan.
Penting pula membedakan secara tegas antara kritik dan ujaran kebencian. Kritik lahir dari nalar dan kepedulian untuk memperbaiki. Ia boleh tajam, bahkan menusuk, selama berdasar fakta dan tidak merendahkan martabat manusia.
Sebaliknya, ujaran kebencian tidak bertujuan membangun, melainkan menghancurkan. Ia menyulut prasangka dan memperlebar jurang perpecahan. Kritik harus dilindungi. Ujaran kebencian harus ditindak.
Maka, menjawab pertanyaan awal apakah kebebasan berpendapat di media sosial adalah hak atau larangan jawabannya tidak hitam-putih. Ia adalah hak yang mendasar, tetapi tidak bebas nilai. Ia menuntut kedewasaan, empati, dan kesadaran hukum.
Media sosial tidak boleh menjadi hutan liar tempat siapa pun bebas melukai sesama atas nama kebebasan. Namun ia juga tidak boleh menjelma ruang sunyi yang dibungkam oleh ketakutan dan represi.
Kunci utamanya adalah keseimbangan. Antara kebebasan dan tanggung jawab. Antara hak individu dan ketertiban sosial. Sebab kebebasan berpendapat sejatinya bukan sekadar keberanian untuk berbicara, tetapi juga kebijaksanaan untuk berpikir sebelum berbicara.
***
*) Oleh : Abdul Hamid, Ketua Himaprodi PAI Universitas Nurul Jadid Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |