TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Kabupaten Probolinggo tak lagi berada di ranking ketiga terbanyak dalam perkara dispensasi kawin atau Diska di Jatim. Data itu menjadi indikator penurunan kasus perkawinan anak di kabupaten berpenduduk 1,15 juta jiwa berdasarkan sensus penduduk tersebut. Bagaimana dengan anak yang kawin siri?
Problem itu dibahas dalam Lokakarya Penyediaan Layanan Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Probolinggo di Ruang Pertemuan Jabung 2, Kantor Bupati Probolinggo, Rabu (18/6/2025). Lokakarya dilaksanakan oleh Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kabupaten Probolinggo dalam Program Inklusi.
Berdasarkan Rekapitulasi Perkara Dispensasi Kawin pada Pengadilan Agama di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tahun 2024, Pengadilan Agama atau PA Kraksaan di Kabupaten Probolinggo berada di urutan ketujuh hingga 28 Oktober. Pada periode tersebut, PA Kraksaan menerima 306 perkara.
Sebelumnya pada 2022 hingga 2023, PA yang beralamat di Jalan Mayjend Sutoyo, Kota Kraksaan itu istiqamah berada di ranking ketiga terbanyak. Pada 2023, PA Kraksaan menerima 892 perkara dispensasi kawin.
Dispensasi kawin sendiri merupakan upaya sesorang yang belum berusia 19 tahun, untuk memperoleh izin kawin dari pengadilan. Usia 19 tahun adalah batas minimal usia kawin berdasarkan Undang-Undang Nomor 16/2019 tentang Perkawinan.
Bagaimana dengan anak yang kawin secara siri? Yaitu perkawinan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau KUA?
Dalam forum lokakarya, Kepala Sub Bagian Tata Usaha pada Kantor Kemenag Kabupaten Probolinggo, M. Sa’dun menyebut, di desa ada jasa ustadz memberikan layanan kawin siri, lengkap dengan saksinya (saksi perkawinan).
Sebagai contoh, Sa’dun menyebut kasus kawin siri anak yang terjadi di dekat rumahnya. Kedua orang tua anak merantau di Malaysia.
“Di daerah pinggiran, ada anggapan, yang penting (perkawinan) sah secara agama. Meski tidak tercatat secara resmi di KUA,” ungkap pejabat asal Kecamatan Banyuanyar tersebut.
Pada forum yang sama, Penyuluh KUA Banyuanyar, Nasir, menyebut, rata-rata anak yang melangsungkan perkawinan adalah mereka yang putus sekolah (drop out), berasal dari daerah pinggiran, dan kebanyakan karena faktor keluarga.
Meski kasus nikah siri anak diyakini banyak terjadi, sejauh ini belum ada data layaknya perkara dispensasi kawin. Kondisi ini menyulitkan para pemangku kepentingan (stakeholder) memberikan layanan kepada pasutri anak. (*)
Pewarta | : Muhammad Iqbal |
Editor | : Muhammad Iqbal |