TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Stadion Gelora Merdeka Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, menyatakan khawatir akan maraknya pungutan liar dan intimidasi oleh oknum preman yang mengatasnamakan organisasi masyarakat. Mereka menilai Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Perdagangan, dan Perindustrian (DKUPP) lalai dalam memberikan perlindungan.
Gelora Merdeka, yang dibangun dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Probolinggo, sejatinya menjadi ruang publik untuk kegiatan olahraga, rekreasi, dan penggerak ekonomi kerakyatan. Namun, kondisi terkini di lapangan justru menyisakan ironi.
“Kawan-kawan PKL mengalami pungutan liar yang tidak jelas asal-usulnya. Ada yang mengaku dari dinas, ada pula yang mengaku dari Karang Taruna,” ujar salah satu pedagang yang enggan disebut namanya kepada TIMES Indonesia, Rabu (25/6/2025).
Menurut pedagang, tindakan tersebut sudah berlangsung lama. Bahkan, beberapa PKL mengaku mendapat ancaman saat mempertanyakan legalitas pungutan itu.
“Ada yang memilih pindah tempat jualan karena tidak tahan dengan tekanan,” ungkapnya.
Ironisnya, menurut catatan aktivis Gerakan Pemuda Progresif, kondisi ini bertolak belakang dengan amanat Peraturan Bupati (Perbup) Probolinggo Nomor 48 Tahun 2023 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.
Dalam regulasi itu, Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Perdagangan, dan Perindustrian (DKUPP) memiliki tanggung jawab menata, membina, dan melindungi PKL secara legal dan manusiawi.
“Saat sidak beberapa waktu lalu, Bupati Probolinggo, Gus Haris, sudah memerintahkan DKUPP untuk segera menata PKL di kawasan Gelora. Tapi sampai hari ini, belum ada tindakan nyata,” kata Ilham Mahendra Alfaridzi, Koordinator Gerakan Pemuda Progresif.
Situasi di lapangan menunjukkan, tidak ada kejelasan sistem pengelolaan, zona dagang, maupun perlindungan hukum terhadap PKL. Bahkan muncul pihak yang mengklaim berasal dari Karang Taruna Desa Kebonsari yang menarik iuran secara sepihak. Padahal, desa secara hukum tidak memiliki kewenangan mengelola fasilitas publik yang dibangun menggunakan APBD kabupaten.
“Ini menimbulkan keresahan. Banyak pedagang takut berbicara karena khawatir kehilangan tempat usaha atau menjadi sasaran intimidasi,” jelasnya.
Aktivis Gerakan Pemuda Progresif menilai, jika situasi ini terus dibiarkan, akan menjadi buruk dalam tata kelola ruang publik dan membuka celah suburnya praktik premanisme atas nama organisasi sosial.
“PKL bukan beban kota. Mereka justru bagian dari denyut ekonomi rakyat. Pemerintah harus hadir dan berpihak secara nyata kepada mereka,” tegasnya.
Melalui rilis resmi yang diterima TIMES Indonesia, Gerakan Pemuda Progresif menyampaikan empat poin desakan kepada pemerintah daerah dan pihak berwenang:
1. DKUPP Probolinggo diminta segera menjalankan amanat Perbup No. 48/2023 secara utuh, bukan sebatas formalitas.
2. Pemkab Probolinggo diminta melakukan audit menyeluruh terhadap tata kelola Gelora Merdeka, termasuk memverifikasi oknum yang melakukan pungutan tidak sah.
3. Aparat penegak hukum diharapkan menindak tegas setiap bentuk pungli dan intimidasi terhadap PKL, tanpa pandang bulu meski mengatasnamakan organisasi sosial.
4. Keterlibatan instansi seperti Satpol PP, Inspektorat, dan BPKAD dalam penataan dan pembenahan pengelolaan Gelora Merdeka secara berkelanjutan.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |