TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Belakangan, linimasa media sosial dipenuhi video Gus dan Ning muda berdakwah dengan gaya selebritas. Sebagian menyejukkan, tapi tak sedikit yang membingungkan.
Di era ketika pengikut lebih berharga dari sanad, dakwah berubah menjadi tontonan. Agama perlahan bergeser dari nilai yang dijaga menjadi citra yang dijual.
Dulu, menjadi Gus atau Ning berarti memikul tanggung jawab moral dan menjaga martabat ilmu. Gelar itu lahir dari proses panjang, bukan sekadar keturunan. Namun kini, bagi sebagian oknum, status itu berubah menjadi modal popularitas. Dakwah pun menjelma panggung hiburan, dan kesalehan bergeser menjadi strategi konten.
Fenomena ini membawa pesantren ke tantangan baru: spiritualitas direduksi menjadi gaya hidup. Di media sosial, Gus-Ning tampil dengan gestur karismatik, gaya santai, dan lelucon ringan. Sekilas tampak inspiratif, tapi sering kali dangkal dan tanpa kedalaman sanad keilmuan.
Yang lebih mengkhawatirkan, gaya dakwah mereka tak jarang menimbulkan kontroversi dan keresahan di kalangan Nahdliyyin sendiri. Sebagian jamaah merasa bingung, bahkan terusik, karena ucapan atau gestur yang dianggap tak mencerminkan adab santri. Fenomena ini membuat sebagian warga nahdliyyin bertanya: ke mana arah dakwah pesantren akan dibawa oleh generasi digital ini?
Lebih jauh, sebagian oknum Gus dan Ning malah menjadikan kedekatan dengan jamaah sebagai alat membangun citra. Mereka bercanda berlebihan, bersalaman dengan lawan jenis, dan menampilkan keakraban tanpa batas. Padahal, relasi dakwah mestinya mendidik, bukan mengaburkan batas syar'i.
Dari situ lahirlah pula istilah Gus-Gus-an. Mereka bukan keturunan kiai, tapi meniru gaya Gus sungguhan dengan sorban, logat pesantren, dan sikap seolah alim tanpa kedalaman ilmu. Ironisnya, gaya semacam ini justru paling cepat viral. Di dunia algoritma, performa menggantikan substansi.
Akibatnya, masyarakat bingung membedakan mana dakwah yang bersanad dan mana yang sekadar konten. Otoritas moral pesantren sejati makin kabur.
Adab tergantikan eksistensi digital; ilmu kalah oleh impresi, kebenaran diukur dari jumlah penonton, bukan dari kedalaman ilmu. Dakwah pun kehilangan ruh ketika orientasinya berpindah dari ketulusan ke keterkenalan.
Masalahnya bukan hanya perilaku individu, tapi juga pembiaran struktural. Lembaga keagamaan besar seperti PBNU belum memberi panduan etika yang tegas bagi Gus-Ning muda di dunia maya. Akibatnya, ruang dakwah digital dikuasai oleh yang paling nyaring, bukan yang paling benar.
PBNU sebagai rumah besar Nahdliyyin memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga marwah pesantren dari komodifikasi agama. Bukan dengan mengekang kebebasan, tapi dengan menuntun arah. Dunia digital membutuhkan etika dakwah baru berpijak pada sanad ilmu, adab, dan tanggung jawab sosial.
Dakwah sejati seharusnya menuntun, bukan hanya menghibur; mencerdaskan, bukan memanipulasi perhatian. Pesantren mesti menegaskan kembali perannya sebagai benteng ilmu dan adab.
Popularitas bukan tanda keberkahan, dan ilmu tak bisa digantikan oleh gaya. Jika PBNU dan pesantren mampu menegakkan kembali nilai-nilai keilmuan dan keteladanan, maka generasi santri akan kembali menemukan arah.
***
*) Oleh : Zainul Hasan R, Alumni PP Nurul Jadid Paiton 2008–2021.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |