TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Zaman bergerak seperti arus sungai yang tak pernah menunggu. Ia mengalir membawa perubahan, teknologi, dan cara pandang baru, sering kali tanpa kompromi terhadap tradisi yang telah berakar ratusan tahun. Di tengah arus itu, pesantren sebagai benteng pendidikan Islam tertua di negeri ini berdiri tegak, namun tak jarang goyah oleh gelombang zaman.
Pertanyaannya, masihkah pesantren dipahami sebagai ruang pencarian barokah, ataukah ia telah direduksi menjadi sekadar institusi pendidikan formal yang diukur dengan standar modern semata?
Fenomena hari ini menunjukkan kegelisahan itu nyata. Karakter santri perlahan mengalami pergeseran. Adab kepada guru yang dahulu dijunjung tinggi, kepatuhan terhadap nasihat kiai yang diterima dengan lapang dada, hingga penerimaan sanksi sebagai bagian dari proses pendewasaan, kini kerap dipersoalkan. Pesantren seolah dihadapkan pada pengadilan zaman: diuji oleh kacamata baru yang sering kali tak sepenuhnya memahami ruh pendidikan pesantren.
Namun, menyederhanakan persoalan dengan menyalahkan santri semata adalah kekeliruan. Realitasnya jauh lebih kompleks. Pesantren hari ini tidak hidup di ruang hampa. Ia berada dalam pusaran globalisasi, perubahan regulasi hukum, serta meningkatnya kesadaran wali santri terhadap isu hak anak dan perlindungan hukum.
Nilai-nilai klasik pesantren seperti ta‘dzim, kepatuhan, dan barokah berhadapan langsung dengan paradigma pendidikan modern yang menekankan transparansi, hak individu, dan relasi yang lebih egaliter. Ketegangan antara dua dunia nilai ini sering kali melahirkan kesalahpahaman, bahkan konflik yang merusak kepercayaan.
Dalam beberapa kasus, sanksi yang sejatinya bersifat edukatif justru dipersepsikan sebagai kekerasan. Komunikasi yang kurang dialogis antara pesantren dan wali santri memperlebar jurang salah tafsir. Ketika laporan sepihak diterima tanpa verifikasi, marwah pesantren dipertaruhkan.
Wibawa kiai dan pengurus perlahan tergerus, dan pesantren pun disamakan dengan lembaga pendidikan umum yang sepenuhnya tunduk pada relasi administratif dan transaksional. Di titik inilah pesantren menghadapi ujian paling sunyi: kehilangan makna simboliknya sebagai ruang pembentukan akhlak.
Di sisi lain, munculnya fenomena bullying di lingkungan pesantren menjadi alarm keras adanya krisis internal. Terbentuknya kelompok-kelompok eksklusif yang meniru budaya kekerasan dan gaya hidup populer menunjukkan sebagian santri kehilangan orientasi nilai.
Ironisnya, praktik ini justru bertentangan dengan spirit pesantren yang menjunjung kesederhanaan, solidaritas, dan keikhlasan. Pesantren bukan sekadar sedang “ditinggal zaman”, melainkan sedang diuji: mampukah ia menjaga identitasnya di tengah gempuran globalisasi?
Dalam konteks inilah Triologi Santri yang digagas Almaghfurlah KH. Zaini Mun’im dari Pondok Pesantren Nurul Jadid menemukan relevansinya. Tiga pilar itu menjaga kewajiban fardhu ‘ain, mawas diri dari dosa besar, dan berbudi luhur kepada Allah serta sesama bukan sekadar slogan moral. Ia adalah fondasi pendidikan holistik yang menyatukan kekuatan spiritual, kematangan etika, dan tanggung jawab sosial. Santri dituntut tidak hanya cerdas berpikir, tetapi juga jernih batin dan kokoh prinsip.
Triologi Santri mengajarkan bahwa pendidikan pesantren bukanlah proses instan. Ia adalah perjalanan panjang pembentukan karakter, tempat kesabaran diuji dan keikhlasan dilatih.
Dalam kerangka ini, adaptasi terhadap zaman bukan berarti menanggalkan tradisi, melainkan menafsirkan ulang nilai-nilai klasik agar tetap hidup dan relevan. Pesantren tidak boleh kehilangan ruhnya, justru di situlah letak kekuatannya.
Pesan moral ini sejalan dengan bait nadzom Imriti yang menegaskan pentingnya keyakinan dan tekad generasi muda. Pemuda yang memiliki keyakinan kuat akan diangkat derajatnya, sementara mereka yang rapuh prinsipnya akan kehilangan arah. Keyakinan inilah yang seharusnya menjadi jangkar santri di tengah derasnya arus zaman.
Oleh karena itu, problematika pesantren di era kontemporer menuntut respons yang bijaksana dan kolaboratif. Pesantren perlu melakukan pembenahan internal, khususnya dalam membangun pola komunikasi yang lebih edukatif, terbuka, dan proporsional dengan wali santri tanpa mengorbankan otoritas moralnya.
Di sisi lain, wali santri harus memahami bahwa pesantren bukan sekadar tempat menitipkan anak, melainkan ruang pembinaan jangka panjang yang sarat nilai dan barokah.
Santri pun harus dikembalikan pada jati dirinya sebagai pelopor moral dan penjaga tradisi. Modernitas boleh dirangkul, teknologi boleh dimanfaatkan, tetapi identitas kesantrian tidak boleh dilepaskan. Pesantren harus tetap menjadi mercusuar pendidikan karakter, bukan bangunan tua yang redup oleh salah tafsir zaman.
Sejarah telah membuktikan, pesantren melahirkan ulama, intelektual, dan pemimpin bangsa dengan mental tangguh dan integritas tinggi. Warisan ini terlalu berharga untuk dikorbankan oleh kegaduhan sesaat.
Menjaga pesantren bukan hanya tugas kiai dan pengurus, tetapi tanggung jawab kolektif santri dan wali santri. Dengan sinergi nilai, komunikasi, dan kesadaran bersama, pesantren akan tetap relevan lintas zaman bukan sebagai institusi yang tertinggal, melainkan sebagai penjaga peradaban.
***
*) Oleh : Muhammad Ilzamul Khoir, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Nurul Jadid daAcademisi Nadlatul Ulama’.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |