TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Puluhan tahun hidup di lereng Gunung Bromo, ribuan warga Suku Tengger di enam desa wilayah Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, harus menjalani keseharian dengan kenyataan pahit: tidak punya akses air bersih yang memadai.
Enam desa di Tengger Tengah yang dimaksud meliputi Ngadisari, Jetak, Wonotoro, Ngadas, Ngadirejo, dan Wonokerto. Disebut sebagai kawasan Tengger tengah, enam desa tersebut dihuni sekitar 6.600 jiwa dari 242 kepala keluarga.
Untuk memenuhi kebutuhan mandi, minum, dan mencuci, mereka harus membeli air dari desa lain, yaitu Desa Sukapura dan Sapikerep, yang berjarak hingga 18 kilometer.
Kisah ini mengemuka dalam Forum Mujadalah Kiai Kampung yang digelar di Atamimi Berghaus, Desa Ngadas, Kecamatan Sukapura, Jumat (25/7/20250 siang.
Kepala Desa Ngadas, Kastaman, mewakili suara masyarakat Tengger Tengah, menyampaikan langsung kondisi tersebut di hadapan sejumlah tokoh nasional yang hadir.
“Kami beli air kubikan (beli per kubik),” kata Kastaman dalam forum tersebut.
Kastaman mengungkapkan bahwa tim dari enam desa telah seminggu terakhir berupaya mencari sumber air permanen.
“Kami sudah keliling, satu-satunya sumber yang ada hanya di kawasan Ranu Kumbolo, masuk wilayah Kabupaten Lumajang. Jaraknya 20 sampai 30 kilometer,” ungkapnya.
Karena itu, ia berharap pemerintah daerah menjalin kerja sama lintas kabupaten demi mewujudkan akses air bersih bagi masyarakat adat Tengger.
“Ini mumpung juga ada Pak menteri,” katanya.
Sejatinya, warga Tengger punya sumber air Widodaren. Posisinya berada di sebalah barat Gunung Bromo. Tapi sumber tersebut tak mampu mencukupi kebutuhan harian 6.600 penduduk Tengger tengah.
Masalah air ini juga berdampak pada sektor pertanian. Selama ini, para petani Tengger hanya bisa menanam sekali dalam setahun saat musim hujan. “Kalau gagal panen, ya sudah. Tidak punya apa-apa lagi,” keluh Kastaman.
Pada sektor pariwisata, hotel dan restoran di kawasan Gunung Bromo turut merasakan sulitnya memperoleh air bersih.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Kabupaten Probolinggo, Digdoyo Djamaluddin mengungkapkan, selama ini hotel membeli air dari dataran rendah. Kemudian diangkut mengggunakan pikap atau truk.
Upaya mendapatkan air bersih ini memakan hingga 30 persen dari total biaya operasional hotel. “Selama ini kami beli (air),” ungkap pria yang biasa disapa Yoyok tersebut.
Dalam forum tersebut, harapan besar menggantung di udara: agar suara warga Tengger yang telah puluhan kesulitan air bersih, akhirnya benar-benar terdengar dan direspons pemerintah. (*)
Pewarta | : Muhammad Iqbal |
Editor | : Muhammad Iqbal |