TIMES PROBOLINGGO, PROBOLINGGO – Sejak Jumat pagi (27/6/2025), Desa Krejengan, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo, Jatim, memantulkan denyut sejarah yang hidup. Warga dari berbagai penjuru dusun, anak-anak, remaja, hingga para sepuh, turun ke jalan.
Mereka berjalan beriringan menuju pendopo desa, membawa gunungan hasil bumi, seperti punggawa kerajaan di masa silam.
Suasana terasa seperti membuka kembali babak lama sejarah: aroma jerami, alunan Ronjengan atau musik dari lesung dan alu, serta semangat gotong royong menyeruak kuat. Seolah Desa Krejengan sedang menulis ulang kisahnya sendiri dari era Majapahit.
Pagi itu, bersamaan dengan tanggal 1 Muharram dalam Kalender Hijriah, desa berpenduduk 2.249 jiwa berdasarkan Publikasi Kecamatan Krejengan Dalam Angka 2024 dari BPS itu sedang melangsungkan Kadisah.
Kadisah, tradisi selamatan desa yang digelar saban 1 Muharram, bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah ruang kolektif tempat kebahagiaan, spiritualitas, dan budaya bersatu dalam satu nafas.
Gunungan sayur-mayur, hasil kebun, dan aneka pangan lokal dipikul warga di atas bambu panjang. Judang, atau peti berisi daging kambing dan benda pusaka desa, diarak menuju pendopo dengan penuh kehormatan.
Anak-anak tampak antusias mengikuti kirab, sementara para sepuh mengenakan busana adat dengan tatapan teduh namun bangga. Bukan tontonan, melainkan perayaan rasa memiliki.
“Alhamdulillah, ini kegiatan luar biasa. Hampir semua berasal dari swadaya masyarakat Krejengan. Ini bukan hanya warisan budaya, ini menunjukkan kekompakan dan semangat gotong royong yang menjadi jati diri bangsa kita,” ujar Wakil Bupati Probolinggo, Ra Fahmi AHZ, yang hadir langsung menyaksikan prosesi Kadisah.
Ra Fahmi menyebut kegiatan semacam ini mampu mempererat kohesi sosial dan menjadi model pembangunan berbasis nilai kearifan lokal. “Gotong royong dan kebersamaan seperti inilah yang harus terus dirawat,” tegasnya.
Kepala Desa Krejengan, Nurul Huda, menyebut Kadisah bukan sekadar agenda seremoni tahunan, melainkan ruang spiritual untuk merenungi perjalanan desa dan memohon keberkahan di tahun yang baru.
"Hari ini kami gelar selamatan desa, atau yang dikenal masyarakat dengan istilah Kadisah. Alhamdulillah, kegiatan ini mendapat dukungan luas dari masyarakat. Hampir 90 persen merupakan partisipasi warga," ungkapnya.
Prosesi penyerahan pusaka dari sesepuh kepada kepala desa menjadi titik paling sakral. Pusaka itu tak hanya simbol kekuasaan, melainkan pengingat akan nilai keadilan dan amanah dalam memimpin.
Dengan mengusung tema “Doa Menggapai Asa Menuju Desa Makmur Sejahtera Mandiri Berkeadilan dalam Ridha Ilahi,” Kadisah menjadi afirmasi bahwa desa yang maju adalah desa yang tumbuh dengan nilai, tradisi, dan kebersamaan.
Acara ini juga dihadiri oleh anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, Habib Mahdi, jajaran Forkopimka, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan seluruh perangkat desa. Semua bersatu, membaur dalam semangat membangun desa dengan kearifan lokal dan ridho Ilahi sebagai pijakan.
“Kadisah ini tradisi turun-temurun. Setiap pergantian kepala desa, pusaka itu diwariskan untuk kepala desa yang baru. Sebenarnya yang diarak ya judang itu. Di dalamnya ada daging kambing dan pusaka desa” kata Lukman, salah satu warga yang terlibat dalam kirab.
Benda itu diarak dari rumah kepala desa menuju kantor desa. “Lalu di sana kami berkumpul, berdoa bersama, sebagai bentuk rasa syukur dan harapan kami warga Krejengan,” tambah Lukman.
Kadisah adalah peristiwa kebudayaan sekaligus cermin jati diri. Desa Krejengan menunjukkan bahwa harmoni, spiritualitas, dan sejarah bisa tetap hidup, selama warga masih percaya dan bersama-sama melestarikannya. (*)
Pewarta | : Abdul Fatah Harowy |
Editor | : Muhammad Iqbal |